Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wisnu Nugroho
Pemimpin Redaksi Kompas.com

Wartawan Kompas. Pernah bertugas di Surabaya, Yogyakarta dan Istana Kepresidenan Jakarta dengan kegembiraan tetap sama: bersepeda. Menulis sejumlah buku tidak penting.

Tidak semua upaya baik lekas mewujud. Panjang umur upaya-upaya baik ~ @beginu

Kerja Diam Penyidik KPK dan Tanda-tanda Kutukan Periode Kedua

Kompas.com - 30/11/2020, 11:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kita biarkan masuk kuping kiri lantas keluar kuping kanan pujian ini sambil menatap tembok di timur Pasar Beringharjo yang sudah dirobohkan dan pesannya lekat di ingatan kita, "Teruslah Bekerja Jangan Berharap pada Negara".

Tembok sisi timur Pasar Beringharjo bisa dirobohkan, tetapi tidak ingatan akan pesan yang kini makin relevan. 

Oya, soal ingatan, beberapa hari lalu kita juga dikejutkan dengan berita meninggalnya legenda sepakbola Diego Maradona karena serangan jantung di usia ke-60.

Dunia berduka karena kepergian legenda yang berasal dari rakyat jelata dan menyentuh hati rakyat kebanyakan karena kiprahnya.

Meskipun raganya sirna, ingatan kita akan legenda tidak binasa. Saya misalnya masih ingat detil menunda berangkat sekolah karena menyaksikan Maradona berlaga di Piala Dunia 1986

Banyak ingatan lain yang jumlahnya mungkin miliaran dan tetap hidup meskipun subyek ingatan itu sudah tiada. Untuk hal ini, saya percaya, siasat abadi di tengah fananya hidup kita adalah karya. Karya bisa dibuat di mana saja. Maradona membuatnya di dunia sepakbola.

Soal karya, pemerintah periode pertama menjadikannya sebagai slogan meskipun kini tidak lagi terdengar. Karena tidak lagi terdengar, banyak dari kita lupa atau tidak meletakannya dalam ingatan. Jika lupa, slogan itu adalah kerja, kerja, kerja.

Kamu bisa klik tautan di atas jika lupa dan ingin menyegarkan ingatan. Jika ingin melupakannya, abaikan tautannya tidak mengapa.

Tapi, sebelum mengambaikan, perlu diketahui, saat terpilih menjadi Presiden RI, Jokowi menjadi perhatian dunia dan masuk dalam pemberitaan media-media besar internasional karena capaiannya.

Mantan Wali Kota Solo yang belum lama masuk Jakarta itu dianggap sebagai sosok pemimpin yang merakyat karena berasal dari rakyat. Pujian yang sejatinya harapan itu disampaikan The Guardian, The New York Times, BBC, dan majalah Time. 

Apakah sosok itu masih ada dan tercermin dari kebijakan-kebijakan di periode kedua, kita bisa berdebat tak habis-habis. Namun, mendapati meluasnya kekecewaan yang tercermin dari turunnya tingkat kepercayaan publik, kekhawatiran perlu diletakkan di periode kedua.

Kita belum banyak rujukan untuk membandingkan. Tapi dari pengalaman pemerintahan pascareformasi, periode kedua memang seperti menjadi kutukan. Ini dialami Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009 dan 2009-2014).

Dipilih langsung oleh rakyat dengan harapan tinggi karena berasal dari rakyat, pemerintahan dan partai yang dijadikan pijakan, harapan dan gilang gemilang di awal berkahir tragis di periode kedua. 

Banyak analisis soal ini. Tetapi, faktor pertama dan terutama adalah korupsi yang melibatkan kekuasaan sedemikian dalam menjerat orang-orang kepercayaan di lingkaran kekuasaan baik di Partai Demokrat maupun pemerintahan.

Karena jadi "kutukan", ingatan 10 tahun pemerintahan Presiden SBY terlekat pada banyaknya kasus korupsi di periode kedua yang merontokkan dukungan kepada Partai Demokrat yang didirikannya dan di Pemilu 2009 sempat jadi juara pertama. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com