"Tidak boleh ada revisi, tidak boleh ada penambahan kata, frasa, kalimat selain yang disetujui," katanya dalam acara Sapa Indonesia Pagi Kompas TV, Rabu (14/10/2020).
Feri mengatakan, perubahan yang diperbolehkan hanya berkisar pada typo atau salah ketik.
Sementara Supratman mengatakan ada penambahan frasa.
"Ya tidak boleh (revisi). Penjelasan Pak Supratman itu clear bahwa ada penambahan frasa yaitu 'pemerintah daerah' maknanya yang disahkan sebelum penambahan itu tidak terdapat frasa 'pemerintah daerah'," ujar Feri.
Menurut Feri ketika frasa itu dimasukkan, berarti ketika disetujui bersama tidak ada pembahasan mengenai itu.
Baca juga: Perubahan Draf UU Cipta Kerja dan Kesakralan yang Hilang
Selain itu pihaknya juga mengatakan, masyarakat tidak bisa mengecek kebenarannya, sebab masyarakat tidak memiliki draf yang disetujui sebelum dan setelah perubahan.
Feri juga mengatakan jika ada penambahan frasa, kalimat, apalagi pasal maka konsekuensinya akan berbeda. Hal itu bisa menimbulkan tafsir yang berbeda.
"Kesalahan-kesalahan ini baru disadari setelah terburu-buru disetujui mungkin tidak melibatkan perancang di Kementerian Hukum dan HAM atau di DPR sehingga tidak matang," tuturnya.
Selain itu dia mengatakan DPR juga telah melanggar asas karena terlalu lama mengeluarkan draf ke publik.
"Perubahan macam apa yang dilakukan secara tersembunyi ini. Ini melanggar beberapa asas pembentuk undang-undang berkenaan dengan asas keterbukaan," ujar Feri.
Menanggapi hal itu Supratman mengatakan bahwa perubahan substansi tidak dilakukan.
"Saya pastikan bahwa perubahan substansi yang dimaksudkan Pak Feri itu tidak kita lakukan. Apa yang tercantum dalam undang-undang itu hanya terkait dengan simplifikasi yang seharusnya lengkap, tapi isinya sama sekali tidak berubah," katanya.
Baca juga: Apa Itu Omnibus Law Cipta Kerja, Isi, dan Dampaknya bagi Buruh?