Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

5 Studi Terbaru Terkait Virus Corona

Kompas.com - 12/10/2020, 08:01 WIB
Mela Arnani,
Jihad Akbar

Tim Redaksi

Namun, hilangnya rasa atau bau menjadi hal yang harus diwaspadai.

Olfactory dysfunction (OD) atau disfungsi olfaktorius, yang didefinisikan sebagai kemampuan mencium, akan berkurang atau terdistorsi selama mengendus atau saat makan.

Kondisi ini sering dilaporkan dalam kasus infeksi virus corona ringan, bahkan asimtomatik atau tanpa gejala.

Laporan OD terkait virus corona menggambarkan gangguan penciuman yang muncul tiba-tiba, yang mungkin dengan atau tidak disertai gejala lain.

Gangguan penciuman lebih sering ditemukan pada pasien muda dan wanita.

Baca juga: Studi: Anosmia Jadi Gejala yang Banyak Ditemukan pada Pasien Corona

4. Demam berdarah munculkan kekebalan terhadap corona

Studi yang menganalisis pandemi virus corona di Brasil menemukan hubungan antara penyebaran virus dan wabah demam berdarah di masa lalu.

Penelitian menunjukkan, paparan penyakit yang ditularkan nyamuk dapat memberikan kekebalan terhadap Covid-19.

Reuters, 21 September 2020, menuliskan penelitian yang dipimpin Miguel Nicoleis, profesor Duke University membandingkan distribusi geografis kasus virus corona dengan penyebaran demam berdarah pada 2019 dan 2020.

 

Disebutkan, tempat-tempat dengan tingkat infeksi virus corona yang rendah dan pertumbuhan kasus yang lambat, merupakan lokasi-lokasi yang mengalami wabah demam berdarah hebat pada tahun ini dan tahun lalu.

Hal tersebut menyoroti korelasi yang signifikan antara insiden, kematian, dan tingkat pertumbuhan Covid-19 yang lebih rendah pada populasi di Brasil, di mana tingkat antibodi terhadap demam berdarah lebih tinggi.

Hasil ini sangat menarik, sebab penelitian sebelumnya menunjukkan orang dengan antibodi demam berdarah dalam darahnya dapat memberi tes false positive atau positif palsu untuk antibodi Covid-19, bahkan jika mereka tidak pernah terinfeksi virus corona.

Sementara penelitian dari Duke University, University of Sao Paolo, Federal University of Paraiba, dan Oswaldo Cruz Foundation menemukan semakin tinggi kasus DBD di masa lalu di lokasi geografis tertentu, semakin rendah jumlah kasus infeksi Covid-19.

Baca juga: Studi: Demam Berdarah Buat Seseorang Punya Kekebalan Terhadap Covid-19

5. Efektivitas remdesivir

Seperti diketahui, obat khusus infeksi virus corona belum ditemukan. Namun, penelitian menunjukkan beberapa obat menunjukkan perkembangan baik dalam melawan virus corona, termasuk remdesivir.

Remdesivir menjadi obat pertama yang mendapatkan perizinan darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) untuk digunakan pada pasien Covid-19.

Remdesivir buatan Gilead Sciences dapat menghambat replikasi virus baru dengan memasukkannya ke dalam gen virus baru.

Awalnya, obat ini digunakan sebagai antivirus untuk penyakit ebola dan hepatitis C.

Publikasi di New England Journal of Medicine menuliskan, para peneliti memastikan manfaat remdesivir untuk mengobati orang yang dirawat di rumah sakit karena Covid-19.

Baca juga: Studi Terbaru Mengonfirmasi Efektivitas Remdesivir sebagai Obat Corona

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com