KOMPAS.com - Rapat Kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bersama pemerintah dan DPD RI pada Sabtu, (3/10/2020) malam menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja dibawa ke Rapat Paripurna DPR.
Dilansir dari Antara, Sabtu (3/10/2020) hasil rapat itu membuat RUU Omnibus Law Cipta kerja tinggal selangkah lagi sebelum mendapat persetujuan menjadi Undang-Undang (UU).
Persetujuan untuk membawa RUU Omnibus Law Cipta kerja ke Rapat Paripurna DPR berasal dari tujuh fraksi, yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PAN, dan PPP.
Sementara itu, dua fraksi menyatakan penolakan terhadap RUU ini, yaitu PKS dan Demokrat.
Baca juga: Tak Hanya Pekerja, Korban PHK Juga Berhak Dapat Bantuan Subsidi Upah, Ini Caranya...
Menanggapi keputusan tersebut, Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S. Cahyono mengatakan, pihaknya kecewa dengan sikap DPR karena tetap ngotot melanjutkan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja ke tingkat II.
"Kami merasa aspirasi dari kaum buruh tidak mendapatkan tanggapan yang selayaknya dari DPR. Mereka selalu mengatakan rapatnya terbuka, bisa ditonton di TV Parlemen atau di YouTube dan Facebook-nya DPR," kata Kahar saat dihubungi Kompas.com, Minggu (4/10/2020).
"Padahal substansi keterbukaan yang kami maksud itu bukan rakyat disuruh mendengar, tapi apa yang menjadi masukan dari buruh itu diakomodir," katanya melanjutkan.
Dari hasil pembahasan yang dilakukan antara Panitia Kerja (Panja) RUU Omnibus Law Cipta Kerja dengan pemerintah, Kahar menilai justru banyak hak-hak buruh yang direduksi dalam RUU itu.
"Pada prinsipnya, apa yang kita sampaikan ke DPR dengan kesepakatan yang dihasilkan dalam RUU Cipta Kerja itu enggak nyambung," ujar dia.
Baca juga: Kena PHK, Bisakah Mengajukan Pencairan Dana JHT ke BPJamsostek?
Menyikapi rencana pemerintah dan DPR RI yang akan mengesahkan RUU Cipta Kerja dalam sidang paripurna DPR RI, maka KSPI beserta 32 federasi serikat buruh lainnya akan melakukan aksi mogok nasional pada 6-8 Oktober 2020 mendatang.
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, mogok nasional dilakukan sesuai dengan UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dan UU No 21 Tahun 2000 Pasal 4 yang menyebut fungsi serikat pekerja salah satunya adalah merencanakan dan melaksanakan pemogokan.
“Selain itu, dasar hukum mogok nasional yang akan kami lakukan adalah UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik,” kata Said Iqbal dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Minggu (4/10/2020).
Baca juga: Mengenang Sosok Marsinah, Aktivis Buruh yang Tak Mau Mengalah pada Nasib
Said mengatakan, aksi mogok nasional ini akan diikuti sekitar 2 juta buruh di 25 provinsi, yang berasal dari berbagai sektor industri di seluruh indonesia, seperti industri kimia, energi, tekstil, sepatu, otomotif, baja, elektronik, dan farmasi.
Selain aksi mogok nasional, buruh juga akan melakukan langkah-langkah penolakan lainnya, sesuai mekanisme konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku.
Baca juga: Nasib Buruh di Tengah Pandemi Covid-19: Dari PHK hingga Kartu Prakerja
Tujuh isu penolakan
Said mengatakan, ada tujuh isu yang diusung buruh dalam menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan.
Tujuh isu itu meliputi:
Baca juga: Ramai Upah Jadi Per Jam, Bagaimana Kondisi Buruh di Indonesia?
Diberitakan Kompas.com, Minggu (4/10/2020) Pembahasan RUU Cipta Kerja oleh pemerintah dan DPR terbilang kilat, jika dibandingkan dengan pembahasan RUU lain.
Bahkan, awalnya RUU Cipta Kerja bisa selesai sebelum 17 Agustus 2020 meskipun di tengah pandemi Covid-19.
Dikebutnya pembahasan RUU ini diklaim demi kemudahan investasi di Indonesia.
Baca juga: Mengenal Apa Itu Resesi Ekonomi, Dampak, dan Penyebabnya...
Sidang-sidang pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dilakukan siang malam, bahkan hingga larut malam, meskipun dibahas di tengah masa reses dan pandemi.
Pemerintah dan Baleg DPR RI memang sempat menunda pembahasan Klaster Ketenagakerjaan ini setelah mendapat perintah resmi dari Presiden Joko Widodo pada 24 April lalu.
Hal ini untuk merespons tuntutan buruh yang keberatan dengan sejumlah pasal dalam klaster tersebut.
Baca juga: Total 1,9 Juta Pekerja Di-PHK dan Dirumahkan akibat Pandemi Virus Corona