PILKADA merupakan bagian dari proses demokrasi untuk mencetak pemimpin daerah yang merakyat. Tetapi, sejauh ini, Pilkada belum menghasilkan kepala daerah yang merakyat dan berprestasi untuk melindungi masyarakat dan alam.
Padahal, Pilkada dilakukan secara langsung, agar hasilnya mampu memberikan manfaat bagi rakyat dan lingkungan hidup.
Pilkada yang abai kepada rakyat dan alam besar kemungkinan karena menumpang pada kepentingan korporasi. Hampir semua kandidat Pilkada di daerah kaya sumber daya alam, melakukan persengkokolan dengan korporasi untuk memperoleh sokongan dana untuk pembiayaan Pilkada.
Akibatnya, kepala daerah yang terpilih menghalalkan segala cara untuk mengembalikan modal. Misalnya, korupsi dan gratifikasi. Penerimaan-penerimaan yang melanggar hukum (seperti illicit enrichment dan kickback) kemudian dilumrahkan oleh kepala daerah terpilih.
Benar Schumpeter (1957) bilang, uang merupakan sumber utama untuk politik. Sumber uang berasal dari pencari lahan skala besar dan pemilik sawit luas.
Pilkada kemudian sebagai tempat pertemuan kekal antara politisi, birokrat dan bisnis. Sebut saja kasus yang menimpa Rita Widyasari, mantan Bupati Kutai Kartanegara Kalimantan Timur, untuk menggambarkan bagaimana hubungan tali-temali antara kandidat kepala daerah dalam Pilkada dengan perusahaan sawit dalam bingkai koruptif.
Rita Widyasari dihukum 10 tahun penjara karena terbukti menerima suap dan gratifikasi dari perusahaan sawit. Kasus lainnya juga banyak dan serupa. Sepanjang 2004-2019, Komisi Pemberantasan Korupsi telah memproses 114 kepala daerah: 17 gubernur, 74 bupati dan 23 wali kota.
Orang kuat dalam terminology Joel S. Migdal (2004) merupakan suatu sistem jaringan antara politisi, birokrat dan pengusaha hingga memiliki kontrol sosial sangat kuat di daerah. Aliansi yang paten ini kemudian ikut menguasai sumber-sumber daya lokal seperti tanah dan keuangan.
Desentralisasi membuka ruang bagi mereka menjadi pemain bebas untuk mengendalikan politik ekonomi di tingkat daerah. Akhirnya demokrasi hanya digenggam oleh orang kuat lokal.
Pengusaha sawit, hidup dalam bayang-bayang rezim lokal dan berdiri antara masyarakat dan petani pemilik tanah dan elit.
Mereka juga memiliki kontrol sosial serta politik yang kuat dan menjadi bagian aliansi lokal sebagai predator tanah rakyat. Yashiro Kunio (1990) menyebut mereka kapitalis semu, yakni pengusaha yang hidup karena koneksi dengan pemerintah.
Emil Salim menyebut, antara politikus dan pengusaha seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, membutuhkan satu sama lain.
Politikus melalui parpolnya membutuhkan dana untuk merebut pemerintahan. Sementara pengusaha butuh politikus yang mengelola negara agar bisnis dan usahanya tetap berjalan lancar atau makin besar. Setelah mereka berkuasa, pengusaha dapat memaksa pemerintah untuk mendapatkan konsesi lahan. Baca: Emil Salim Ungkap Keterkaitan SDA Dikuasai Pengusaha dengan Kepentingan Politik
Pilkada mestinya membawa perubahan bagi masyarakat. Namun, calon kepala daerah yang dibiaya oleh korporasi hanya akan menjadi benalu yang menempel pada pohon bisnis. Kepala daerah sebetulnya memiliki kedaulatan untuk menata bisnis secara adil dan memuliakan masyarakat sebagai mandat politik demokrasi.
Jebakan batman sawit membuat pemimpin di daerah tidak banyak melakukan inovasi. Kepala daerah terjebak pada kesibukan dan rutinitas pemberian izin sawit bagi cukong atau pengusaha hitam. Akhirnya, inovasi untuk daerah hampir nihil dan birokrasi menjadi tidak melayani rakyat.