Pertumbuhan izin sawit setelah Pilkada sangat pesat. Ruang hidup masyarakat dibatasi oleh konsesi sawit. Secara nasional tahun 2015, luas Izin Usaha Perkebunan (IUP) mencapai 18.391.601 hektar (FWI, 2019).
Kenaikan jumlah izin konsesi naik pesat pada 2020. IUP sudah mencapai 20.004.299 hektar di 23 provinsi (Kementan 2019). Terjadi peningkatan signifikan dalam penerbitan IUP untuk satu periode kepala daerah seluas 1,7 juta hektar.
Eskalasi izin sawit tersebut nyata-nyata dipicu oleh keterbatasan dana para calon kepala daerah. Alhasil, kepala daerah terpilih memburu dana dari konsesi perkebunan.
Lagi-lagi, contoh yang dapat diambil dari beberapa kasus korupsi tentang hal ini adalah korupsi mantan Bupati Kutai Kertanegara, kasus di Provinsi Riau serta Kabupaten Buol Sulawesi Tengah, di mana para kepala daerah memperoleh dana dari perusahaan sawit.
Bupati Rita di Kutai Kertanegara setelah dilantik pada tahun 2015 memuluskan perizinan PT Sawit Golden Prima seluas 16.000 hektar. Rita mendapat dana sejumlah Rp 6 miliar.
Sementara Gubernur Riau Annas Makmun ditangkap KPK karena mendapatkan dana suap dari PT Duta Palma Group tahun 2014 dengan tujuan untuk merubah status Kawasan Hutan menjadi Areal Penggunaan Lainnya dan menerima uang sebesar Rp 2 miliar. Padahal Annas tidak sampai satu tahun menjabat.
Begitupun halnya Bupati Buol Sulawesi Tengah Amran Batalipu pada tahun 2012 memperoleh dana Rp 3 miliar dari perusahaan sawit PT Citra Cakra Murdaya dan PT Hardaya. Inilah karya-karya pertautan bos lokal berkaitan dengan izin sawit.
Kuatnya persekutuan orang kuat lokal dan pengelola pemerintahan lokal, berdampak pada tergusurnya wilayah kelola masyarakat akibat luasnya konsesi izin.
Bandingkan misalnya, di Provinsi Riau, tutupan sawit seluas 3,2 juta hektar (Madani, 2019), pertambangan 310 ribu hektar, konsesi hutan tanaman industri 1,9 juta hektar, dan kawasan lindung 3.3 juta hektar. Kumulasi luasan tersebut memakan hampir menguasai luas wilayah Riau yang hanya 8,7 juta hektar.
Banyak rakyat dan komunitas dimarjinalkan. Wilayah kelola masyarakat adat yang dimiliki secara turun-temurun digusur seketika oleh secarik kertas bernama IUP dan HGU (Hak Guna Usaha) yang diberikan sewenang-wemang oleh kepala daerah.
Begitupun Petani kelapa sawit dikebiri dalam skema kemitraan oleh perusahaan perkebunan. Parahnya, kepala daerah cendrung abai membela petani sawit. Belum lagi izin yang ikut menggunduli hutan.
Perebutan wilayah kelola di masa mendatang dapat menghadirkan konflik sosial antara perusahaan dan masyarakat serta antara masyarakat dan negara.
Sebagaimana konflik yang terjadi baru-baru ini di Kalimantan Tengah. Lahan milik masyarakat adat suku Dayak Kalimantan Tengah di Kinipan kabupaten Lamandau digusur oleh Izin Usaha PT SML (Sawit Mandiri Lestari). Perusahaan ini erat kaitannya dengan bos-bos lokal di Provinsi Kalimantan Tengah.
Di Indonesia, aksi inovasi daerah dimulai oleh Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL). Baru 18 Kabupaten di Indonesia memiliki inovasi pembangunan hijau dengan indikator capaian yang memadai.
Ini menunjukkan bahwa kabupaten dapat melakukannya jika dimotori secara baik. Namun tantangannya besar, elit nasional dan kementerian akan selalu merecoki dengan pendekatan eksploitatif dengan regulasi yang merusak inovasi daerah.