Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Teuku Kemal Fasya

Kepala UPT Kehumasan dan Hubungan Eksternal Universitas Malikussaleh dan Dewan Pakar PW Nadhlatul Ulama Aceh. 

Debar-debar Pengungsi Rohingya

Kompas.com - 21/08/2020, 11:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini


KISAH pengungsi Rohingya yang terdampar di perairan Aceh kembali berulang. Pada 25 Juni 2020, 99 pengungsi etnis Rohingya – menurut data riil UNHCR - terapung-apung di Selat Melaka sebelum diselamatkan nelayan Aceh Utara.

Kisah pendaratan mereka sempat menjadi drama tersendiri karena pihak TNI-Polri awalnya tidak bersedia menerima pendaratan itu karena alasan virus Corona.

Kisah heroik nelayan Aceh menyelamatkan pengungsi Rohingya itu ternyata mendapatkan liputan luas. Laporan Al Jazeera (26/6/2020) menyebutkan jiwa besar masyarakat nelayan Aceh menggendong para pengungsi untuk turun dari kapal tanpa takut tertular penyakit, mendapat pujian dunia.

Gelombang pujian netizen di seluruh dunia melalui media sosial seperti Twitter dan Instagram mengalir deras. Seorang gadis Turki membuat ucapan terima kasih dalam bahasa nasional mereka: te?ekkür ederim!

Para nelayan (the fishermen) Aceh itu digambarkan sebagai “penjaring manusia” (the fisher of men), dengan ramah membantu para manusia laut yang telah terombang-ambing berbulan-bulan di laut.

Sejak itu berita pengungsi Rohingya itu telah melahirkan gerakan filantropi di Aceh, baik secara sporadis atau oleh LSM yang biasa menangani para pengungsi.

Mengungkap misteri

Namun pertanyaannya, kok bisa tiba-tiba ada gelombang pengungsi Rohingya ketika di Rakhine State sendiri tidak terdengar masalah?

Informasi yang penulis dapatkan dari KBRI Yangon menyebutkan, mereka bukan pengungsi akibat ekses kemanusiaan baru. Para pengungsi berasal dari pusat pengungsian terbesar di Bangladesh, Cox’s Bazar. Mereka bagian dari ekses konflik tahun 2017.

Kini, pusat pengungsian Cox’s Bazar telah menjahit masalah kompleks. Ada 700 ribu jiwa pengungsi Rohingnya sejak meledaknya kasus kekerasan pada 2012, 2015, dan terakhir pada 2017 yang membuat masalah kesehatan, sanitasi, dan kecukupan pangan bertimbun.

Apalagi di tengah Covid-19, Pemerintahan Balangladesh juga menghadapi tekanan ekonomi yang berat akibat pendanaan pandemi global itu.

Konflik Rohingya sendiri belum menunjukkan tanda-tanda melandai. Masalah telah bertunas sejak Myanmar mendeklarasi sebagai negara merdeka pada 4 Januari 1948.

Warga melakukan evakuasi paksa pengungsi etnik Rohingya dari kapal di pesisir pantai Lancok, Kecamatan Syantalira Bayu, Aceh Utara, Aceh, Kamis (25/06). ANTARA FOTO/RAHMAD Warga melakukan evakuasi paksa pengungsi etnik Rohingya dari kapal di pesisir pantai Lancok, Kecamatan Syantalira Bayu, Aceh Utara, Aceh, Kamis (25/06).

Bom waktu konflik terus tertanam di kalangan nasionalis – kemudian hari junta militer – bahwa Rohingya adalah “sisi lain Burma”.

Berlarutnya konflik ini akibat adanya politik identitas yang ditinggalkan Inggris dengan mendeklarasi etnis Rohingya/Rohang bukan bagian dari grup-etnis etnis asli (host ethnics).

Hal ini diperparah dengan keluarnya UU Kewarganegaraan pada 1982 oleh junta militer Ne Win, yang tidak memasukkan etnis Rohingya sebagai satu dari 135 etnik asli (host ethnics) nasional.

Sebenarnya bukan hanya Rohingya yang terdiskriminasi, etnis minoritas lain seperti Karen, Wa, Chin, Shan, Pa O, dll tidak puas dengan perlakuan pemerintah nasional sehingga melahirkan gerakan militer dan pembangkangan sipil.

Metamerfosis tragedi

Hasil penelusuran pengungsi Myanmar yang kini terdampar di Aceh menunjukkan masalah yang mungkin semakin menyedihkan.

Di tangan para pengungsi itu ditemukan kartu UNHCR, lembaga PBB yang mengurusi pengungsi lintas negara.

Informasi menunjukkan bahwa mereka juga menjadi bagian dari korban trafficking yang telah terkatung-katung di lautan Hindia selama lebih empat bulan. Ada yang terpaksa meminum air kencingnya sendiri karena tidak ada suplai air.

Beberapa di antaranya meninggal di kapal dan dilempar begitu saja ke laut diselamatkan oleh nelayan Aceh (Yahoo.news, 28 Juni 2020).

Masalahnya Aceh bukan tempat idola para manusia perahu itu. Pilihan “suaka terbaik” mereka ialah Australia.

Untuk negara Asia Tenggara, Malaysia dianggap memiliki fasilitas suaka yang lebih baik untuk mendapatkan registrasi sebagai pengungsi tanpa negara (stateless refugees) dari UNHCR.

Namun, perairan Aceh di mulut Selat Melaka menjadi tempat terdampar paling efektif. Catatan Balee Institute, bahwa selain kasus 25 Juni 2020, telah lima kali para pengungsi Rohingya mendarat di Aceh dalam rentang 2015-2018.

Masyarakat Desa Lancok, Kecamatan Syamtalira Bayu, Kabupaten Aceh Utara menarik kapal motor yang ditumpangi 94 rohingya asal Myanmar ke daratan.KOMPAS.com/MASRIADI Masyarakat Desa Lancok, Kecamatan Syamtalira Bayu, Kabupaten Aceh Utara menarik kapal motor yang ditumpangi 94 rohingya asal Myanmar ke daratan.

Yang terbesar adalah pada 15 Mei 2015 ketika ada 820 Rohingya mendarat di pantai Aceh Timur setelah terusir dari perairan Malaysia empat hari sebelumnya.

Sambutan pertama selalu mengharu-biru. Masyarakat lokal pada awalnya selalu datang dengan bantuan, baik pakaian dan makanan, yang diberikan kepada para pengungsi. Alasan karena kesamaan keyakinan dan etnis, menjadi sebab sumbu solidaritas kemanusiaan itu menyala.

Demikian pula aksi filantropi yang dilakukan oleh mahasiswa dan kelompok masyarakat Aceh tengah ramai saat ini.

Namun kisah tragedi juga memiliki batas waktu dalam ingatan dan getaran hati. Aksi pengumpulan bantuan masyarakat seperti biasa akan berakhir sebelum siklus tahun.
Kini saja, kasus itu pelan-pelan mengempis dan hilang seturut kesibukan dan problem hidup sehari-hari.

Demikian pula pemerintah di Aceh pasti beralasan bahwa masalah Rohingya bukan masalah yang bisa diselesaikan daerah.

Benar, kasus ini adalah tanggung jawab nasional, pemerintah daerah memiliki keterbatasan untuk mengintervensi, termasuk urusan mengubah status warga negara anak-anak pengungsi.

Yang kemudian kerap terjadi adalah tragedi baru. Tempat penampungan yang awalnya “surga” menjadi “semakin panas” dan membuat pengungsi tidak betah.

Aksi yang kerap muncul dari tempat pengungsian Rohingya di Aceh ialah kasus kekerasan, pemerasan, hingga kekerasan seksual bagi pengungsi perempuan menjadi cerita berulang (Kompas.com, 29/09/2015).

Akhirnya banyak para pengungsi yang melarikan diri dan menghilang sebelum dipindahkan ke detensi lain atau remigrasi ke negara tujuan (Serambinews.com, 24/12/2018).

Kasus terkini sudah menujukkan sejarah kembali berulang, seorang gadis Rohingya melarikan diri dari gedung Balai Latihan Kerja (BLK), Meunasah Mee, Kecamatan Muara Satu, Lhokseumawe. Diduga ia mencoba menuju ke arah Medan (Serambinews.com, 8/8/2020)

Makanya, meskipun kini mereka sempat nyaman berada sementara di Aceh, masalah pengungsi Rohingya masih tetap mendebarkan.

Kenyamanan mereka memiliki batas waktu sebelum berubah akibat perlakuan “oknum” yang tega menyakiti hati para pengungsi itu. Derita atas pengalaman kemanusiaan itu tetap saja menghantui dan bisa bertransformasi menjadi pengalaman traumatik lainnya.

Sebelum itu semua terjadi, Pemerintah RI dan lembaga bantuan pengungsi harus mengambil momentum menyelamatkan “manusia perahu” ini sehingga tetap memiliki harapan menyongsong hidup baru mereka di tanah impian.

Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh harus mencari opsi paling simpatik, di tengah restriksi Piagam ASEAN yang non-intervensi, untuk ikut menyelamatkan pengungsi Rohingya berdasarkan semangat menjaga ketertiban dunia, kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com