Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Debar-debar Pengungsi Rohingya

KISAH pengungsi Rohingya yang terdampar di perairan Aceh kembali berulang. Pada 25 Juni 2020, 99 pengungsi etnis Rohingya – menurut data riil UNHCR - terapung-apung di Selat Melaka sebelum diselamatkan nelayan Aceh Utara.

Kisah pendaratan mereka sempat menjadi drama tersendiri karena pihak TNI-Polri awalnya tidak bersedia menerima pendaratan itu karena alasan virus Corona.

Kisah heroik nelayan Aceh menyelamatkan pengungsi Rohingya itu ternyata mendapatkan liputan luas. Laporan Al Jazeera (26/6/2020) menyebutkan jiwa besar masyarakat nelayan Aceh menggendong para pengungsi untuk turun dari kapal tanpa takut tertular penyakit, mendapat pujian dunia.

Gelombang pujian netizen di seluruh dunia melalui media sosial seperti Twitter dan Instagram mengalir deras. Seorang gadis Turki membuat ucapan terima kasih dalam bahasa nasional mereka: te?ekkür ederim!

Para nelayan (the fishermen) Aceh itu digambarkan sebagai “penjaring manusia” (the fisher of men), dengan ramah membantu para manusia laut yang telah terombang-ambing berbulan-bulan di laut.

Sejak itu berita pengungsi Rohingya itu telah melahirkan gerakan filantropi di Aceh, baik secara sporadis atau oleh LSM yang biasa menangani para pengungsi.

Mengungkap misteri

Namun pertanyaannya, kok bisa tiba-tiba ada gelombang pengungsi Rohingya ketika di Rakhine State sendiri tidak terdengar masalah?

Informasi yang penulis dapatkan dari KBRI Yangon menyebutkan, mereka bukan pengungsi akibat ekses kemanusiaan baru. Para pengungsi berasal dari pusat pengungsian terbesar di Bangladesh, Cox’s Bazar. Mereka bagian dari ekses konflik tahun 2017.

Kini, pusat pengungsian Cox’s Bazar telah menjahit masalah kompleks. Ada 700 ribu jiwa pengungsi Rohingnya sejak meledaknya kasus kekerasan pada 2012, 2015, dan terakhir pada 2017 yang membuat masalah kesehatan, sanitasi, dan kecukupan pangan bertimbun.

Apalagi di tengah Covid-19, Pemerintahan Balangladesh juga menghadapi tekanan ekonomi yang berat akibat pendanaan pandemi global itu.

Konflik Rohingya sendiri belum menunjukkan tanda-tanda melandai. Masalah telah bertunas sejak Myanmar mendeklarasi sebagai negara merdeka pada 4 Januari 1948.

Bom waktu konflik terus tertanam di kalangan nasionalis – kemudian hari junta militer – bahwa Rohingya adalah “sisi lain Burma”.

Berlarutnya konflik ini akibat adanya politik identitas yang ditinggalkan Inggris dengan mendeklarasi etnis Rohingya/Rohang bukan bagian dari grup-etnis etnis asli (host ethnics).

Hal ini diperparah dengan keluarnya UU Kewarganegaraan pada 1982 oleh junta militer Ne Win, yang tidak memasukkan etnis Rohingya sebagai satu dari 135 etnik asli (host ethnics) nasional.

Sebenarnya bukan hanya Rohingya yang terdiskriminasi, etnis minoritas lain seperti Karen, Wa, Chin, Shan, Pa O, dll tidak puas dengan perlakuan pemerintah nasional sehingga melahirkan gerakan militer dan pembangkangan sipil.

Metamerfosis tragedi

Hasil penelusuran pengungsi Myanmar yang kini terdampar di Aceh menunjukkan masalah yang mungkin semakin menyedihkan.

Di tangan para pengungsi itu ditemukan kartu UNHCR, lembaga PBB yang mengurusi pengungsi lintas negara.

Informasi menunjukkan bahwa mereka juga menjadi bagian dari korban trafficking yang telah terkatung-katung di lautan Hindia selama lebih empat bulan. Ada yang terpaksa meminum air kencingnya sendiri karena tidak ada suplai air.

Beberapa di antaranya meninggal di kapal dan dilempar begitu saja ke laut diselamatkan oleh nelayan Aceh (Yahoo.news, 28 Juni 2020).

Masalahnya Aceh bukan tempat idola para manusia perahu itu. Pilihan “suaka terbaik” mereka ialah Australia.

Untuk negara Asia Tenggara, Malaysia dianggap memiliki fasilitas suaka yang lebih baik untuk mendapatkan registrasi sebagai pengungsi tanpa negara (stateless refugees) dari UNHCR.

Namun, perairan Aceh di mulut Selat Melaka menjadi tempat terdampar paling efektif. Catatan Balee Institute, bahwa selain kasus 25 Juni 2020, telah lima kali para pengungsi Rohingya mendarat di Aceh dalam rentang 2015-2018.

Yang terbesar adalah pada 15 Mei 2015 ketika ada 820 Rohingya mendarat di pantai Aceh Timur setelah terusir dari perairan Malaysia empat hari sebelumnya.

Sambutan pertama selalu mengharu-biru. Masyarakat lokal pada awalnya selalu datang dengan bantuan, baik pakaian dan makanan, yang diberikan kepada para pengungsi. Alasan karena kesamaan keyakinan dan etnis, menjadi sebab sumbu solidaritas kemanusiaan itu menyala.

Demikian pula aksi filantropi yang dilakukan oleh mahasiswa dan kelompok masyarakat Aceh tengah ramai saat ini.

Namun kisah tragedi juga memiliki batas waktu dalam ingatan dan getaran hati. Aksi pengumpulan bantuan masyarakat seperti biasa akan berakhir sebelum siklus tahun.
Kini saja, kasus itu pelan-pelan mengempis dan hilang seturut kesibukan dan problem hidup sehari-hari.

Demikian pula pemerintah di Aceh pasti beralasan bahwa masalah Rohingya bukan masalah yang bisa diselesaikan daerah.

Benar, kasus ini adalah tanggung jawab nasional, pemerintah daerah memiliki keterbatasan untuk mengintervensi, termasuk urusan mengubah status warga negara anak-anak pengungsi.

Yang kemudian kerap terjadi adalah tragedi baru. Tempat penampungan yang awalnya “surga” menjadi “semakin panas” dan membuat pengungsi tidak betah.

Aksi yang kerap muncul dari tempat pengungsian Rohingya di Aceh ialah kasus kekerasan, pemerasan, hingga kekerasan seksual bagi pengungsi perempuan menjadi cerita berulang (Kompas.com, 29/09/2015).

Akhirnya banyak para pengungsi yang melarikan diri dan menghilang sebelum dipindahkan ke detensi lain atau remigrasi ke negara tujuan (Serambinews.com, 24/12/2018).

Kasus terkini sudah menujukkan sejarah kembali berulang, seorang gadis Rohingya melarikan diri dari gedung Balai Latihan Kerja (BLK), Meunasah Mee, Kecamatan Muara Satu, Lhokseumawe. Diduga ia mencoba menuju ke arah Medan (Serambinews.com, 8/8/2020)

Makanya, meskipun kini mereka sempat nyaman berada sementara di Aceh, masalah pengungsi Rohingya masih tetap mendebarkan.

Kenyamanan mereka memiliki batas waktu sebelum berubah akibat perlakuan “oknum” yang tega menyakiti hati para pengungsi itu. Derita atas pengalaman kemanusiaan itu tetap saja menghantui dan bisa bertransformasi menjadi pengalaman traumatik lainnya.

Sebelum itu semua terjadi, Pemerintah RI dan lembaga bantuan pengungsi harus mengambil momentum menyelamatkan “manusia perahu” ini sehingga tetap memiliki harapan menyongsong hidup baru mereka di tanah impian.

Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh harus mencari opsi paling simpatik, di tengah restriksi Piagam ASEAN yang non-intervensi, untuk ikut menyelamatkan pengungsi Rohingya berdasarkan semangat menjaga ketertiban dunia, kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/08/21/114218065/debar-debar-pengungsi-rohingya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke