Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Apa Itu Resesi Ekonomi dan Bedanya dengan Depresi Ekonomi

Kompas.com - 07/08/2020, 20:14 WIB
Dandy Bayu Bramasta,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

Edhie Purnawan menambahkan, NBER mendefinisikan resesi sebagai penurunan signifikan dalam aktivitas perekonomian yang tersebar di seluruh (sebagian besar) sektor dalam perekonomian.

Dan itu berlangsung lebih dari beberapa bulan, yang biasanya bisa dideteksi dari jatuhnya GDP riil, pendapatan riil, lapangan kerja, produksi sektor-sektor industri, dan penjualan grosir dan eceran.

Baca juga: Emas Cenderung Naik Saat Terjadi Ketidakpastian Ekonomi, Mengapa?

Bedanya dengan depresi

Sementara itu, depresi menurut Edhie Purnawan adalah penurunan aktivitas ekonomi yang parah serta berkepanjangan.

"Dalam macroeconomics, depresi pada umumnya didefinisikan sebagai resesi ekstrem yang berlangsung selama tiga tahun atau lebih atau yang menyebabkan penurunan GDP riil minimal 10 persen," ucap Edhi.

Menurut pria yang juga bertugas sebagai anggota Badan Supervisi Bank Indonesia ini, depresi relatif lebih jarang terjadi dibandingkan resesi (yang lebih ringan).

Baca juga: Indonesia Menuju Resesi Pertama sejak 1998?

Depresi ekonomi terjadi cenderung disertai dengan pengangguran yang masif dan inflasi yang rendah. Lebih hebat lagi, disebut depresi hebat atau Great Depression.

"(Great Depression) adalah resesi ekonomi terbesar dan terpanjang dalam sejarah dunia modern. Great Depression ini dimulai dengan jatuhnya pasar saham US pada tahun 1929 dan tidak berakhir hingga 1946 setelah Perang Dunia II," jelas dia.

Lebih lanjut, imbuhnya, para ekonom dan sejarawan dunia sering menyebut Great Depression ini sebagai peristiwa krisis ekonomi paling dahsyat di abad ke XX.

Baca juga: Selain Motif Ekonomi, Kenapa Banyak Orang Tertarik Jadi Wakil Rakyat?

Indonesia alami pertumbuhan yang negatif

Edhie memaparkan, Indonesia kini mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif 5,32 persen pada kuartal II dan diharapkan pada kuartal III terdapat keajaiban sehingga minimal tidak tumbuh negatif.

"Meskipun Menkeu Sri Mulyani bahkan memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III atau kuartal III 2020 berada di kisaran minus 1,6 persen hingga (positif) 1,4 persen," papar Edhie.

Estimasi tersebut adalah perkiraan sementara yang dibuat pemerintah dalam memprediksi pertumbuhan ekonomi 2020 di kisaran minus 0,4 hingga (positif) 1 persen.

Oleh karenanya, Edhie memiliki beberapa pandangan agar ekonomi Indonesia bisa diselamatkan.

Baca juga: Ramai soal Klaim Obat Covid-19 Hadi Pranoto, Ini Tanggapan Peneliti Mikrobiologi UGM

Ketika perekonomian mengalami proses adaptasi dan penyesuaian ekonomi terhadap kondisi baru, termasuk faktor-faktor produksi, konsumsi, dan distribusi yang pertama-tama memicu resesi, maka respons kebijakan serta aturan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun bank sentral harus sama sekali berubah dan lain dari biasanya.

"Hal ini dalam ilmu ekonomi makro adalah elemen standar untuk memulihkan perekonomian. Bahkan pemenang hadiah Nobel Jean Tirole pernah menyampaikan bahwa seluruh respons kebijakan untuk menanggulangi resesi harus sama sekali berbeda dari kondisi business as usual," jelas Edhie.

Di antaranya, yakni pengelolaan aspek tenaga kerja, barang modal, dan sumber daya produktif lainnya harus mulai disiapkan sesegera dan seaman mungkin mengikuti protokol Covid-19 agar aman secara ketat dan bisa tetap produktif.

Baca juga: Ketersediaan APD, Risiko Tenaga Medis, dan Perlindungan Covid-19...

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com