Untuk mengganti para menteri, biasanya dua alasan pokok dijadikan pijakan. Pertama, soal kompetensi dan integritas para menteri untuk menerjemahkan visi Presiden. Dalam bahasa Presiden Jokowi ada tidaknya "perasaan sama" dalam bekerja.
Untuk pijakan ini, merujuk pada kejengkelan di depan para menteri yang diumbar pekan lalu ke publik, Presiden Jokowi sudah memiliki bukti.
Pijakan kedua adalah soal konstelasi politik. Dinamika politik yang kerap merepotkan jadi pertimbangan mengganti menteri. Pijakan ini yang kerap jadi bahan "kompromi politik" dengan bagi-bagi kekuasaan.
Soal "kompromi politik" ini yang tampaknya masih menjadi ganjalan sehingga kejengkelan internal diumbar ke publik untuk mendapatkan dukungan.
Permintaan dukungan publik itu sebelumnya sudah dikemukakan Presiden Jokowi saat mengundang pegiat media sosial atau biasa disebut "buzzer Istana" atau pendengung Istana di Istana Bogor, 18 Februari 2020.
Saat itu, usai evaluasi 100 hari pemerintahan, Presiden Jokowi mengatakan di depan para pendukungnya yang aktif di media sosial sedang mengevaluasi kinerja para menteri. Isu perombakan kabinet muncul pertama dari sini.
Presiden Jokowi saat itu masih memberi waktu karena diperlukan penyesuaian. Ada yang bisa cepat beradaptasi, ada yang tidak. Untuk yang tidak cepat beradaptasi, maaf masih diberikan.
Namun, situasi berbeda dan berubah karena pandemi. Tiga bulan lebih situasi krisis dihadapi karena pandemi, kinerja baik para menteri tidak didapati. Beberapa menteri dirasakan Presiden Jokowi tidak memiliki "perasaan sama".
Berbeda dengan perombakan kabinet sebelum-sebelumnya, Presiden Jokowi membutuhkan banyak prakondisi untuk mengambil langkah yang merupakan bagian dari hak prerogatifnya. Bagian dari kekuasaannya.
Publik kemudian bertanya, ada apa? Siapa atau apa yang memberatkan langkah ringan Presiden Jokowi sebelum-sebelumnya saat mengganti menteri?
Merujuk dua alasan pokok yang dijadikan pijakan saat mengganti menteri yaitu kompetensi menteri dan konstelasi politik, tampaknya pijakan kedua yang belum sepenuhnya diyakini. Permintaan dukungan publik luas berkali-kali adalah tanda akan hal ini.
Pertanyaan berikutnya kemudian mengemuka: hak prerogarif memilih menteri di periode kedua apakah semu belaka?
Apakah di periode kedua ini, mengganti dan memilih menteri tidak lagi bisa dilakukan secara bebas karena pijakan pertama soal kompetensi?
Apakah kompromi sebagai bagian dari konstelasi politik begitu mendominasi?
Kini, publik yang dua kali dikondisikan lewat "buzzer Istana" dan kanal Youtube Sekretariat Kabinet sudah memiliki "perasaan sama" dengan Presiden Jokowi.
Oya, peristiwa "Sabtu Kelabu" atau "Kudatuli" akan diperingati untuk tahun ke-24 pada 27 Juli ini.
Salam ambil alih,
Wisnu Nugroho
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.