KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 di Indonesia menyadarkan banyak orang tentang pentingnya berolahraga untuk menjaga tubuh agar tetap sehat.
Sebab, virus corona diketahui rentan menyerang seseorang yang tak memiliki imuntias tubuh yang kuat.
Untuk menerapkan gaya hidup sehat, masyarakat banyak memilih bersepeda sebagai alternatif untuk berolahraga. Hal itu dibuktikan dengan unggahan warganet yang menunjukkan toko sepeda dipenuhi oleh pembeli.
Bakul pit naik Haji
Source: Mrcid pic.twitter.com/b8DzP2TG9r
— Merapi News (@merapi_news) June 22, 2020
Tak hanya itu, banyak warganet yang mengkritik sejumlah pesepeda yang tak mematuhi lalu lintas dan bergerombol hingga memenuhi jalanan.
Lantas, apakah fenomena bersepeda ini sebuah kesadaran atau justru hanya latah semata?
Sosiolog Universitas Gadjah Mada Sidiq Harim mengatakan, untuk membuktikan apakah maraknya pesepeda itu kesadaran atau kelatahan akan terlihat usai pandemi Covid-19 ini berakhir.
"Kesadaran atau kelatahan baru bisa benar-benar kita pastikan nanti pasca-pandemi," kata Sidiq saat dihubungi Kompas.com, Senin (22/6/2020).
"Kita temukan ini kesadaran kalau pasca pandemi sepeda atau alat transportasi non-polutant lainnya mendominasi ruang kota," sambungnya.
CFD Jkt yg dah dibuka pagi ini pic.twitter.com/bKkeiY1Dzy
— IG : @g_hanafiah (@g_hanafiah) June 21, 2020
Namun, Sidiq melihat fenomena bersepeda kali ini justru mengarah pada gejala kelatahan. Sebab, banyak dari para pesepeda merebut ruang kota.
Menurutnya, mereka yang memenuhi jalanan dengan sepeda saat ini adalah mereka yang mendominasi jalanan dengan klakson dan asap kendaraan sebelum pandemi.
"Jadi wataknya sama saja, hasrat rebutan ruang khas kaum urban. Hanya warnanya saja yang beda. Sekarang agak hijau, green. Tapi karena masih Covid-19 semua orang peduli lingkungan, peduli kesehatan," jelas dia.
Sidiq menjelaskan, kelatahan justru akan berbahaya bagi masyarakat karena tidak mengubah apa pun.
"Yang kita kutuk dari sengkarut perebutan ruang publik ini kemungkinan muncul lagi pasca-pandemi. Jadi enggak ada yang 'new' dari 'new normality'. Itu bahayanya," terang dia.
Baca juga: Ramai Orang Gowes Sepeda, Bagi Pemula Waspadai Bahaya Serangan Jantung
Sementara itu, epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman mengatakan, bersepeda merupakan salah satu solusi efektif untuk menghindari penggunaan transportasi publik yang rawan akan keramaian.
Namun, Dicky mengingatkan bahwa bersepeda di masa pandemi juga harus menerapkan prilaku pencegahan virus, seperti bermasker, menjaga jarak 1,5 meter, dan mencuci tangan.
"Selama itu dipatuhi tentu akan mengurangi kemungkinan paparan virus," kata Dicky saat dihubungi, Senin.
Selain itu, dia juga mengimbau warga agar bersepeda hanya untuk area dengan tujuan dekat, seperti ke toko atau tempat kerja yang dekat.
Agar protokol itu dipatuhi, Dicky menganggap pemerintah perlu mengatur jumlah maksimal pengguna sepeda dalam satu kelompok dan jarak terjauh yang diperbolehkan.
Pemerintah juga harus mengatur lajur dan marka jalan untuk pesepeda agar tidak mengganggu pengguna jalan lain.
"Tren bersepeda ini memang jadi booming di dunia saat pandemi. Oleh karena itu, setiap Pemda harus mulai mengatur jalur dan marka jalan utk pesepeda ini," jelas dia.
"Tentunya harus ada petugas yang memantau pesepeda ini. Seperti kewajiban bermasker dan jaga jarak. Edukasi juga sekali lagi sangat penting," tambahnya.
Baca juga: INFOGRAFIK: Jenis-jenis Sepeda dan Tips Membeli Sepeda
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.