KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan sejumlah masalah dalam program Kartu Prakerja. Lembaga antirasuah ini meminta agar program ini ditunda, dievaluasi dan diperbaiki.
Tak putus dirundung malang. Judul novel karya Sutan Takdir Alisjahbana ini mungkin cocok untuk menggambarkan nasib yang dialami Kartu Prakerja.
Program yang diniatkan untuk menyokong dan menolong orang-orang yang kesusahan karena kehilangan pekerjaan akibat pandemi ini terus menjadi sorotan.
Tak hanya dikritik publik, KPK menilai program ini sarat konflik kepentingan dan rawan diselewengkan.
KPK menyatakan ada sejumlah persoalan pada program Kartu Prakerja. Hal itu disampaikan setelah lembaga pimpinan Firli Bahuri melakukan kajian program yang banyak menyedot perhatian publik ini.
KPK menyoroti empat hal terkait program ini. Pertama, soal pendaftaran. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan ada 1,7 juta pekerja terdampak.
Namun, hanya sebagian kecil dari angka yang terdampak tersebut yang mendaftar secara daring, yakni hanya 143.000 orang. Padahal ada 9,4 juta orang yang mendaftar selama tiga gelombang.
Penggunaan anggaran sebesar Rp 30,8 miliar untuk fitur recognition guna pengenalan peserta juga dinilai tidak efisien.
Kemitraan dengan platform digital dinilai rentan penyelewengan karena dilakukan tanpa melalui mekanisme Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Tak hanya itu. KPK juga menemukan terdapat konflik kepentingan pada lima platform digital dengan lembaga penyedia pelatihan.
Selain itu, KPK menilai kurasi materi pelatihan tidak dilakukan dengan kompetensi yang memadai. KPK juga menemukan pelatihan yang sebenarnya telah tersedia melalui jejaring internet dan tidak berbayar.
Terakhir, KPK menilai metode pelaksanaan program pelatihan secara daring berpotensi fiktif, tidak efektif, dan dapat merugikan keuangan negara.
Hasil kajian KPK tersebut pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan yang selama ini menjadi kritik publik. Sejak pertama kali diluncurkan, program ini memang tak pernah sepi dari kritik.
Sejumlah kalangan menilai, program Kartu Prakerja hanya menghambur-hamburkan anggaran karena tak sesuai kebutuhan. Karena, di masa pandemi rakyat lebih membutuhkan makanan dibanding pelatihan.
Selain itu, usai ikut pelatihan juga tak ada jaminan peserta akan mendapat pekerjaan. Pasalnya, banyak perusahaan yang memilih menghentikan operasional atau menutup pabrik selama pandemi.