Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

New Normal, Ini yang Diprediksi Terjadi pada Pariwisata Indonesia

Kompas.com - 19/06/2020, 10:28 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Lebih dari lima bulan sejak pandemi virus corona pertama kali dilaporkan di Wuhan, China, banyak negara di dunia kini secara perlahan mulai melonggarkan pembatasan.

Pelonggaran pembatasan itu dilakukan untuk menyelamatkan perekonomian negara yang hancur akibat lumpuhnya aktivitas masyarakat.

New normal atau kenormalan baru menjadi istilah yang digunakan untuk menyebut kehidupan pasca-pandemi dengan beragam protokol kesehatan demi mencegah terjadinya gelombang kedua infeksi.

Di Indonesia, arah menuju kenormalan baru mulai terlilhat seiring pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah daerah.

Aktivitas masyarakat kini mulai hidup kembali dengan dibukanya sejumlah tempat publik, tak terkecuali pariwisata.

Baca juga: Apa Itu Travel Bubble?

Apakah pandemi Covid-19 ini memengaruhi dunia pariwisata Indonesia?

Pergeseran minat wisata

Ketua Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) Azril Azhari mengatakan, kecenderungan wisata ke depan akan bergeser dari quality tourism menjadi special interest tourism atau wisata minat khusus.

Dengan pergeseran kecenderungan tersebut, ada empat hal yang kini menjadi pertimbangan masyarakat ketika akan berwisata.

Pertama, kebersihan tempat wisata dan sesuai dengan protokol kesehatan yang berlaku.

"Pertama, harus bersih. Kalau tidak, mereka enggak mau datang. Protokol kesehatan tidak benar, ya sudah," kata Azril saat dihubungi Kompas.com, Kamis (18/6/2020).

Akan tetapi, Azril mengatakan, untuk kategori pertama ini, Indonesia mendapatkan rapor merah dalam beberapa tahun terakhir.

Kedua, wisata akan cenderung terjadi dalam kelompok kecil karena adanya kebijakan physical/social distancing.

Ketiga, price sensitivity atau sensitifitas harga. Penerapan protokol kesehatan yang memakan biaya besar membuat banyak pihak mengeluh.

"Garuda sudah berteriak sekarang. Dia bilang harga protokol kesehatan itu lebih mahal dari harga tiket, kemudian kapasitas penumpang yang dikurangi," jelas dia.

Di sisi lain, kemungkinan kenaikan tarif justru terjadi ketika daya beli masyarakat turun karena banyaknya PHK.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com