Kita berharap, disiplin ketat kita dengan protokol kesehatan berdampak. Namun, jangan lupa menyiapkan diri untuk kecewa juga karena peluangnya ada. Selain data kenaikan jumlah pasien Covid-19, temuan kita sendiri terkait longgarnya disiplin dengan protokol kesehatan menjadi alasan kita untuk bersiap kecewa.
Di panggung-panggung, para para pemilik otoritas menyerukan disiplin dan menegaskan akan menegakkan disiplin. Akses masuk ke satu wilayah misalnya akan dijaga dan yang masuk akan diperiksa.
Poster, spanduk akan adanya pemeriksaan dan petugas memang ada. Namun, pemeriksaan oleh petugas tidak dilakukan. Untuk masuk Tangerang Selatan via gerbang tol Pondok Aren misalnya, petugas yang berjaga tidak disiplin memeriksa.
Dua kali saya melintas dalam seminggu terakhir dan dibiarkan tanpa diperiksa oleh petugas yang hanya duduk-duduk di tenda. Hal sama terjadi dengan semua pelintas lainnya di semua gerbang tol Pondok Aren yang dibuka.
Tangerang Selatan misalnya memang tidak melongarkan PSBB. Namun, kondisi di lapangan ternyata longgar tanpa penegakan disiplin. Dengan temuan-temuan inilah, harapan baik karena kita disiplin harus disertai dengan kemungkinan kecewa.
Untuk bersiap menghadapi kecewa, umumnya kita memang tidak perlu persiapan. Realitas mengajari kita untuk memiliki kemampuan ini. Tidak heran, di tengah banyak ketidakpuasan, ketidakberesan, kekacauan, indeks kebahagiaan Indonesia relatif tinggi.
Selain karena punya kemampuan menerima kecewa, apa lagi yang memungkinkannya?
Soal kecewa, Kamis (11/6/2020) lalu, kita mendapatinya di panggung mulia yang menjadi perhatian publik luas. Perjuangan kita untuk hidup di negara yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) membentur pada kekuasaan yang tidak peduli dan tidak berjuang untuk ini.
Kita dibuat tertawa meskipun sangat kecewa. Menurut saya, ini adalah tanda bahaya.
Alih-alih mewakili negara untuk melindungi warga dari kejahatan yang nyata, jaksa bertindak layaknya pembela atau penasihat hukum bagi dua terdakwa Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis.
Meskipun kedua terdakwa yang merupakan anggota aktif Polri terbukti melakukan penganiayaan terencana yang mengakibatkan luka berat dalam hal ini kebutaan di mata kiri Novel Baswedan, jaksa hanya menuntut 1 tahun penjara.
Kekecewaan diutarakan banyak pihak atas tuntutan ini. Novel Baswedan sangat marah karena tuntutan ini merepresentasikan diinjak-injaknya etika keadilan, diabaikannya norma keadilan dan compang-campingnya hukum.