Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mata Kiri Novel Baswedan Buta, Mata Kiri Kita Jangan

Hai, apa kabarmu minggu ini? Semoga sehat selalu dan tetap bisa menemukan kegembiraan di tengah situasi yang terus berubah.

Sehat dan tetap bisa gembira adalah harapan yang makin kerap kita sampaikan untuk kenalan, teman, atau saudara kita setidaknya empat bulan ini.

Situasi pandemi karena Covid-19 membuat kita begitu menghargai kesehatan dan hal-hal yang bisa menjaga kesehatan seperti kegembiraan karena imunitas yang dihasilkannya. 

Kegiatanmu minggu lalu pasti lebih variatif lantaran normal baru yang diujicobakan di masa transisi ini. Banyak orang mulai berani berolah raga di luar rumah. Bersepeda misalnya, menjadi populer kembali. Selain sebagai variasi kegiatan setelah banyak di rumah saja, bersepeda baik juga untuk kesehatan.

Namun, meskipun kegiatanmu lebih variatif lantaran aktivitas ekonomi mulai dibuka, kewaspadaan dengan disiplin tinggi terkait protokol kesehatan tetap harus kamu patuhi. 

Perlu dicatat, tempat-tempat umum mulai dibuka dan aktivitas mulai diizinkan karena alasan ekonomi bukan karena tempat-tempat dan aktivitas itu aman. Kesadaran ini perlu kita miliki agar disiplin kita semua dengan protokol kesehatan tetap tinggi.

Saya tidak hendak mempertentangkan kesehatan dan ekonomi. Keduanya kita sadari sama-sama penting setelah kita semua berupaya menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) selama tiga bulan lebih.

Berakitvitas kembali dengan kesadaran akan protokol kesehatan adalah jalan tengah atau sikap berdamai dengan pandemi yang kita pilih.

Lalu, apakah dengan berdamai, kasus penyebaran Covid-19 lantas surut? Ternyata tidak.

Penambahan kasus tertinggi

Tiap minggu kita masih mendapati rekor penambahan kasus positif harian pecah. Minggu lalu, tepatnya 10 Juni 2020, rekor baru dicatatkan dengan penambahan kasus positif mencapai 1.241 pasien. 

Ini adalah penambahan kasus positif Covid-19 harian pertama dengan jumlah di atas 1.000 kasus. Setelah itu, penambahan jumlah pasien sehari di atas 1.000 dianggap lumrah. 

Fakta ini menegaskan sekali lagi bahwa aktivitas ekonomi dilonggarkan karena alasan ekonomi, bukan karena aktivitas itu aman dalam konteks kesehatan. Longgarnya aktivitas kita sejak setelah Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah dan dilanjutkan dengan PSBB akan kita lihat hasilnya hari-hari ini.

Kita berharap, disiplin ketat kita dengan protokol kesehatan berdampak. Namun, jangan lupa menyiapkan diri untuk kecewa juga karena peluangnya ada. Selain data kenaikan jumlah pasien Covid-19, temuan kita sendiri terkait longgarnya disiplin dengan protokol kesehatan menjadi alasan kita untuk bersiap kecewa.

Di panggung-panggung, para para pemilik otoritas menyerukan disiplin dan menegaskan akan menegakkan disiplin. Akses masuk ke satu wilayah misalnya akan dijaga dan yang masuk akan diperiksa.

Penjagaan longgar

Poster, spanduk akan adanya pemeriksaan dan petugas memang ada. Namun, pemeriksaan oleh petugas tidak dilakukan. Untuk masuk Tangerang Selatan via gerbang tol Pondok Aren misalnya, petugas yang berjaga tidak disiplin memeriksa.

Dua kali saya melintas dalam seminggu terakhir dan dibiarkan tanpa diperiksa oleh petugas yang hanya duduk-duduk di tenda. Hal sama terjadi dengan semua pelintas lainnya di semua gerbang tol Pondok Aren yang dibuka.

Tangerang Selatan misalnya memang tidak melongarkan PSBB. Namun, kondisi di lapangan ternyata longgar tanpa penegakan disiplin. Dengan temuan-temuan inilah, harapan baik karena kita disiplin harus disertai dengan kemungkinan kecewa.

Untuk bersiap menghadapi kecewa, umumnya kita memang tidak perlu persiapan. Realitas mengajari kita untuk memiliki kemampuan ini. Tidak heran, di tengah banyak ketidakpuasan, ketidakberesan, kekacauan, indeks kebahagiaan Indonesia relatif tinggi.

Selain karena punya kemampuan menerima kecewa, apa lagi yang memungkinkannya?

Kecewa, tertawa dan bahaya

Soal kecewa, Kamis (11/6/2020) lalu, kita mendapatinya di panggung mulia yang menjadi perhatian publik luas. Perjuangan kita untuk hidup di negara yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) membentur pada kekuasaan yang tidak peduli dan tidak berjuang untuk ini.

Kita dibuat tertawa meskipun sangat kecewa. Menurut saya, ini adalah tanda bahaya.

Alih-alih mewakili negara untuk melindungi warga dari kejahatan yang nyata, jaksa bertindak layaknya pembela atau penasihat hukum bagi dua terdakwa Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis. 

Meskipun kedua terdakwa yang merupakan anggota aktif Polri terbukti melakukan penganiayaan terencana yang mengakibatkan luka berat dalam hal ini kebutaan di mata kiri Novel Baswedan, jaksa hanya menuntut 1 tahun penjara.

Kekecewaan diutarakan banyak pihak atas tuntutan ini. Novel Baswedan sangat marah karena tuntutan ini merepresentasikan diinjak-injaknya etika keadilan, diabaikannya norma keadilan dan compang-campingnya hukum.


Banyak pihak yang berjuang membuat Indonesia bebas dari korupsi bersuara keras. Dengan tuntutan yang mengecewakan ini, KPK yang menjadi tumpuan harapan membebaskan kita dari korupsi merasa tidak terlindungi kerja-kerjanya.

Amnesti Internasional menilai, sejak awal kepolisian dan kejaksaan separuh hati mengusut kasus penganiayaan ini. Lembaga ini berkesimpulan, negara menyepelekan kasus ini dan bisa mengantar pada kesesatan dalam keadilan hukum (miscarriage justice).

Kekecewaan ini memberi ruang lebih luas untuk terkumpulnya kekecewaaan-kekecewaan lain. Masalah pelanggaran hak asasi manusia menggema lagi. Kasus pembunuhan terhadap Munir mengemuka lagi. Kasus-kasus lain seperti yang terjadi di Papua mendapat penguataannya di sini.

Jika dibandingkan dengan tuntutan untuk kejahatan-kejahatan lain yang dapat dikategorikan jauh lebih ringan akibatnya, tuntutan ini pun jauh lebih ringan. Ini yang membuat publik kecewa. Atas kekecewaan ini, publik tidak mengambil sikap marah tetapi tertawa. Sekali lagi, ini tanda bahaya.

Betul, tuntutan ini bukan akhir. Masih ada harapan yang bisa kita sematkan di pundak majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang menyidangkan kasus ini. Hakim yang mulia dengan pertimbangannyua tidak wajib mengikuti tuntutan jaksa. 

Namun, seperti setiap harapan atas hal lain, harapan ini pun harus kita sertakan persiapan untuk kecewa jika melihat pengalaman penegakan hukum kita selama ini.

Jika kecewa itu hadir dan publik tidak marah, tidak mengeluh namun justru tertawa, bahaya ada di depan mata.

Sambil tetap waspada terhadap penyebaran Covid-19 yang tidak mereda, mari kita juga waspada terhadap upaya pencarian keadilan atas kasus penganiayaan terencana yang mengakibatkan mata kiri Novel Baswedan buta.

Cukup mata kiri Novel Baswedan yang buta, mata kita, mata publik kita jangan.

Jika akhirnya putusan hakim nantinya membuat kita kecewa, jangan kita marah, jangan kita mengeluh, tetapi mari kita tertawa bersama-sama sebagai pertanda kepada penguasa.

Tertawa membuat perjuangan pencarian keadilan lebih berbahaya dan bertenaga.

Salam pertanda,
Wisnu Nugroho

https://www.kompas.com/tren/read/2020/06/16/091414965/mata-kiri-novel-baswedan-buta-mata-kiri-kita-jangan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke