KOMPAS.com - Pemerintah telah memberikan lampu hijau kepada 102 kabupaten/kota untuk memulai kembali aktivitas masyarakatnya pada akhir Mei lalu.
Keputusan itu diberikan seiring status kabupaten atau kota tersebut yang masuk ke dalam zona hijau atau belum terdampak penularan virus corona.
Sementara itu, DKI Jakarta juga mulai memasuki babak baru penanganan virus corona dengan melonggarkan penguncian atau disebut Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi.
Dengan penerapan itu, sejumlah sektor pun kembali beroperasi. Rencananya, PSBB transisi fase pertama yang dimulai sejak Jumat (5/6/2020) akan dievaluasi pada akhir Juni 2020.
Baca juga: New Normal dan PSBB Transisi ala DKI Jakarta
Menanggapi hal itu, ekonom senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, dimulainya kegiatan masyarakat belum tentu mampu mengeluarkan Indonesia dari tekanan ekonomi saat ini.
Menurutnya, pelonggaran ini memang bisa menjadi solusi bagi orang-orang yang terpuruk karena tak bisa bekerja.
Namun, jika kondisi seperti itu berkepanjangan, maka efisiensinya pun akan semakin panjang.
"Kalau dalam kondisi biasa, tidak harus dengan kapasitas 50 persen dan berbagai protokol ketat, itu kan kegiatan ekonomi kita akan jauh lebih efisien," kata Enny saat dihubungi Kompas.com, Senin (7/6/2020).
"Kalo new normal ini berkepanjangan, otomomatis efisiensinya ini kan berkepanjangan," sambungnya.
Enny menyebut kondisi semacam itu tidak akan terjadi jika kebijakan PSBB dilaksanakan secara optimal, baik oleh masyarakat maupun otoritas terkait.
Karena PSBB tak maksimal, kata Enny, mau tidak mau pelonggaran harus dilakukan karena beban masyarakat yang mengalami keterbatasan aktivitas ekonomi sudah sangat berat.
Selain itu, dia juga mengatakan, Indonesia saat ini belum menikmati keuntungan atau manfaat dari anggaran besar yang dibayarkan untuk penanganan Covid-19.
"Selama ini kan kita lebih banyak membayar biayanya tapi kita belum menikmati keuntungannya. Tapi kita harus sadar bahwa PSBB ini berdampak pada tekanan ekonomi masyarakat, termasuk kalangan bawah," kata Enny.
Baca juga: Kurs Rupiah di Awal Pekan, Masih di Bawah Rp 14.000 Per Dollar AS
Sementara mengenai penguatan rupiah dalam beberapa hari terakhir, Enny menjelaskan bahwa hal itu tak ada hubungannya dengan kebijakan new normal dan kembalinya aktivitas ekonomi.
Menurutnya, penguatan rupiah itu diakibatkan oleh kondisi ekonomi dan keamanan AS yang mengalami dampak terburuk dalam puluhan tahun terakhir.
"Penguatan rupiah tidak ada hubungannya dengan new normal, tapi karena kondisi Amerika. Dollar mengalami pelemahan ke seluruh mata uang dunia," jelas dia.
"Kondisi instabilitas ekonomi atau keamanan di AS ini yang terburuk, sehingga kepercayaan pemegang dollar jadi menurun," tambahnya.
Karena itu, penguatan rupiah ini tak bisa dijadikan sebagai patokan respon atas kebijakan Indonesia terkait pelonggaran penguncian .
Dia pun menegaskan bahwa tak ada alasan fundamental yang mendukung penguatan rupiah dalam beberapa waktu terakhir.
"Dari sisi apa pun tak ada yang pengaruh dengan rupiah, karena neraca perdagangan kita masih defisit, probabilitas ekonomi triwulan kedua juga malah jadi minus, dan aktivitas ekonomi masyarakat hari ini masih sangat terganggu," terang dia.
Baca juga: Kabar Baik Indonesia Hari Ini: 102 Daerah Bebas Covid-19, Rupiah Menguat
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.