KOMPAS.com - Malaysia disebut mengalami lonjakan kasus virus corona di pusat-pusat penahanan imigran.
Pusat-pusat penahanan tersebut penuh setelah terjadi serangkaian penggerebekan bulan lalu di mana ada lebih dari 2.000 imigran yang tidak memiliki dokumen kemudian dijemput.
"Kami telah mengidentifikasi pusat-pusat penahanan sebagai area yang memiliki risiko tinggi" kata Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan Dr Noor Hisham Abullah dalam sebuah konferensi pers, 26 Mei 2020 sebagaimana dikutip Al Jazeera, Selasa (2/6/2020).
Pada 22 Mei 2020, terdapat 35 kasus yang diidentifikasi di sebuah pusat penahanan dekat Kuala Lumpur.
Empat hari setelahnya, jumlah tersebut meningkat menjadi 227 kasus di tiga lokasi. Hingga 31 Mei 2020, jumlah kasus pun telah mencapai 410 di 4 lokasi.
Baca juga: Malaysia Deportasi 73 TKI, Ada yang Ditangkap karena Melanggar Aturan Lockdown
"Penggerebekan dengan dalih menghentikan penyebaran Covid-19 ini justru menyebarkan virus lebih luas," kata Kepala Misi Dokter Tanpa Batas (Medecins Sans Frontieres atau MSF) di Malaysia Beatrice Lau.
Menurut Beatrice, pihak berwenang telah diperingatkan tentang risiko infeksi di penahanan imigrasi.
Pada 1 Mei 2020 lalu, pihak berwenang mulai melakukan penggerebekan di daerah-daerah yang dikategorikan sebagai "zona merah" Covid-19.
Area-area ini berada di bawah pembatasan yang dijaga oleh polisi dan militer.
Adapun zona merah di Malaysia adalah distrik dengan lebih dari 41 kasus virus corona dalam periode 2 minggu.
Baca juga: 1.440 TKI Pulang dari Malaysia, Ini yang Dilakukan Pemkab TTU
Namun, di area-area lokasi kluster yang mengkhawatirkan telah muncul, diberlakukan penguncian (lockdown) yang lebih ketat dengan pemasangan kawat duri untuk menutup area dan mencegah orang-orang keluar masuk.
Penggerebekan yang dilakukan memicu reaksi dari komisi hak asasi manusia Malaysia, juga kelompok kesehatan.
"Pengabaian terhadap kehidupan oleh pihak berwenang itu mengerikan. Kesehatan dan nyawa (tahanan) dipertaruhkan," kata Direktur Eksekutif Sementara Amnesty International Malaysia Preethi Bhardwaj.
Baca juga: 10 TKI NTT dari Qatar dan Malaysia Pulang Bawa Surat Bebas Corona
Pada 2018, menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), ada sekitar 2-4 juta pekerja migran di Malaysia yang tidak memiliki dokumen.
Hampir 180.000 pengungsi dan pencari suaka juga tercatat di UNHCR. Mereka dianggap sebagai "imigran ilegal" karena Malaysia tidak termasuk dalam negara yang menandatangani Konvensi Pengungsi PBB.
Peter Thang, seorang pengungsi dari Myanmar yang kini tinggal di lingkungan Pudu, Kuala Lumpur mengungkapkan kecemasannya.
"Setiap hari, polisi berpatroli dan mengumumkan sesuatu dalam bahasa Melayu, tetapi saya tidak mengerti. Saat anak-anak saya mendengar suara sirene, mereka terkejut," tutur dia.
Baca juga: Lee Chong Wei Dukung Duet Pelatih Indonesia-Malaysia untuk Lee Zii Jia
Sementara itu, Juru Bicara UNCHR menyebut pihaknya telah menerima pemberitahuan dari pihak berwenang bahwa pengungsi yang terdaftar dan pencari suaka tidak akan ditahan dalam penggerebekan.
UNCHR sendiri telah ditolak aksesnya ke pusat-pusat penahanan Malaysia sejak Agustus 2019.
Kondisi ini membuat badan tersebut tidak dapat mengidentifikasi orang-orang yang membutuhkan perlindungan internasional atau mengadvokasi pembebasan mereka.
Hingga kini, mereka masih terus mencari akses dan berusaha untuk menyediakan pendaftaran awal bagi para pencari suaka di daerah penguncian dengan kebutuhan perlindungan yang mendesak.
Baca juga: Sebelum Kualifikasi Olimpiade, Tim Bulu Tangkis Malaysia Fokus ke Thomas-Uber
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.