Ia menyebut setiap minggu diberlakukan tiga atau empat tindakan.
Dan beberapa tindakan membutuhkan kerja sama lintas lembaga.
Tindakan tersebut di antaranya kontrol perbatasan dari udara dan laut, mengidentifikasi kasus, karantina kasus yang mencurigakan, mengelola alokasi sumber daya, briefing pers harian, mengidentifikasi informasi palsu dan merumuskan kebijakan ekonomi untuk membebaskan keluarga dan bisnis.
Tindakan-tindakan tersebut sangat mungkin dilakukan di Taiwan karena adanya integrasi big data dan teknologi di sana.
Dalam satu hari pemerintah Taiwan mampu menggabungkan data dari Administrasi asuransi Kesehatan Nasional dan Badan Imigrasi.
Hal itu bermanfaat untuk mengidentifikasi riwayat perjalanan 14 hari pasien.
Selain itu, dengan data dari sistem kependudukan dan kartu masuk orang asing, memungkinkan negara itu untuk mengetahui siapa saja yang berisiko tinggi, memerlukan karantina sendiri, dan memungkinkan orang itu untuk dipantau melalui ponsel mereka.
Bagi penumpang dengan risiko rendah bisa memindai kode QR pioritas saat mereka berangkat atau datang untuk melengkapi formulir pernyataan kesehatan.
Hal ini membuat mereka mendapatkan izin imigrasi lebih cepat.
Pada 18 Februari, pemerintah membua kebijakan. Yakni, memberikan rumah sakit, klinik, dan apotek untuk mengakses riwayat perjalanan setiap pasien.
Audrey Tang, Menteri Digital Taiwan yang juga merupakan menteri termuda yang sebelumnya tak memiliki portofolio untuk memegang jabatan, dinilai sebagai pembuat gebrakan.
Ia memanfaatkan kecerdasan buatan untuk mendapatkan data guna membuat pembaruan digital real time.
Pembaruan itu mampu memperingatkan warga agar menghindari daerah-daerah berisiko.
Selain itu, ia juga membua peta digital yang akan memberitahu lokasi terdekat, tempat yang masih menyediakan masker.