Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Benarkah Anak Miskin Cenderung Tetap Miskin Ketika Dewasa?

Kompas.com - 10/12/2019, 07:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Rendy A Diningrat

PENELITIAN terbaru lembaga riset SMERU Institute menunjukkan bahwa anak yang lahir dari keluarga miskin cenderung berpenghasilan lebih rendah ketika mereka dewasa.

Penelitian yang telah dipublikasikan di makalah internasional Asian Development Bank (ADB) menunjukkan, pendapatan anak-anak miskin setelah dewasa 87 persen lebih rendah dibanding mereka yang sejak anak-anak tidak tinggal di keluarga miskin.

Menggunakan data yang diambil dari kehidupan rumah tangga di Indonesia atau yang disebut dengan Indonesian Family Life Survey (IFLS), tim peneliti SMERU Institute yang dipimpin oleh Mayang Rizky, Daniel Suryadarma, Asep Suryahadi mengolah data dari 1.522 anak dan membandingkan pendapatan mereka pada tahun 2000 ketika mereka berusaha 8-17 tahun dengan pendapatan mereka pada 2014 ketika mereka menginjak usia 22-31 tahun.

Menariknya, ketika riset ini dirilis ke publik, beberapa pihak menyangsikan hasil penelitian tersebut. Beberapa menampik hasil riset ini dan memilih percaya bahwa anak yang miskin bisa saja terlepas dari jerat kemiskinan ketika mereka bekerja keras.

Penelitian tersebut memang bersifat kuantitatif dan tidak menjawab mengapa anak yang tumbuh dari keluarga miskin akan cenderung tetap miskin ketika mereka dewasa.

Namun, pada 2015, saya terlibat dalam sebuah penelitian kualitatif yang juga dilakukan SMERU Institute yang dapat membantu menjelaskan mengapa ini bisa terjadi.

Penelitian itu menunjukkan bahwa keluar dari jerat kemiskinan tidak semudah yang banyak orang kira karena kemiskinan yang terjadi pada anak-anak berkaitan dengan kondisi kemiskinan keluarganya.

Kemiskinan keluarga akan membatasi akses anak-anak mereka terhadap berbagai kesempatan (misalnya untuk mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan) yang sebenarnya diperlukan untuk memperbaiki kondisi ekonomi mereka.

Kemiskinan anak, perkara yang kompleks

Penelitian kami tahun 2015 dilakukan di dua kelurahan berbeda di Jakarta, Makassar (Sulawesi Selatan), dan Surakarta (Jawa Tengah).

Riset ini melibatkan setidaknya 250 anak laki-laki dan perempuan dari keluarga miskin yang berusia 6-17 tahun di ketiga kota tersebut.

Dalam penelitian ini, kami ingin mengamati perspektif subjektif anak-anak tentang kemiskinan. Kami mewawancarai anak-anak tersebut tentang kondisi hidup mereka dan menemukan bahwa perbedaan kondisi kesejahteraan orang tua menentukan nasib anak-anaknya.

Penelitian ini menemukan bahwa anak-anak rupanya sangat mampu menjelaskan kompleksitas kemiskinan yang menjeratnya.

Mereka menyadari adanya perbedaan status sosial-ekonomi di lingkungannya melalui hal-hal yang tampak seperti kondisi tempat tinggal, cara berpakaian, serta kepemilikan alat komunikasi dan kendaraan.

Seorang anak bisa mengatakan mereka miskin ketika mereka tinggal di rumah yang kecil, tidak punya banyak kamar, lingkungan yang padat dan relatif kumuh seperti banyak sampah.

Mereka bisa mendeskripsikan teman-teman yang tidak miskin dengan sebagai anak-anak yang memiliki telepon seluler dan kendaraan bermotor.

Dari wawancara anak-anak yang menceritakan kondisi hidup mereka, penelitian kami menyimpulkan bahwa perbedaan kondisi kesejahteraan orangtua menentukan nasib anak-anaknya.

Dengan kata lain, perbedaan kesejahteraan orangtua menyebabkan kondisi ekonomi anak-anak mereka tidak berada pada garis awal yang sejajar.

Anak yang orangtuanya memiliki aset atau sumber daya maka akan memberikan peluang bagi anaknya untuk dapat meningkatkan kesejahteraan atau kesuksesan pada masa depan.

Anak-anak yang lahir dari keluarga kaya, misalnya, memiliki peluang jauh lebih besar untuk memperoleh pendidikan non-formal, baik yang sifatnya mendukung capaian pendidikan formal maupun yang mengasah keterampilan serta kemampuan emosional dan spiritual bahkan sejak usia dini.

Akses pada pendidikan yang tidak seimbang ini menjelaskan mengapa anak miskin sulit keluar dari jerat kemiskinan.

Contoh lain, anak-anak tidak miskin yang dibekali telepon seluler dan kendaraan bermotor dianggap memiliki peluang lebih besar untuk melakukan mobilitas, mendapat pengalaman baru, termasuk berjejaring dengan orang-orang baru yang akan memberikan peluang ekonomi yang lebih besar.

Belum lagi perbedaan pola asuh di masyarakat miskin yang cenderung otoriter dan reaktif yang berisiko melanggengkan budaya miskin.

Anak-anak dari keluarga miskin mengaku bahwa orangtua mereka cenderung mudah marah dan memberi hukuman saat tahu anaknya menghadapi masalah ketimbang memiliki kesempatan untuk bercerita mengapa masalah itu bisa terjadi dan mendapat jalan keluarnya.

Sebagai contoh, seorang anak mengaku lebih sering menerima pukulan saat orang tuanya tahu bahwa dirinya berkelahi di sekolah. Padahal, perkelahian tersebut karena sang anak menerima perundungan dari teman-teman sebayanya.

Tanpa kemampuan mendengar dan mencarikan jalan keluarnya, perilaku orangtua seperti itu hanya akan membuat sang anak semakin frustrasi menjalani pendidikan, padahal pendidikan adalah solusi bagi kemiskinan.

Pola pengasuhan tentu sangat berkaitan dengan tingkat pendidikan orangtua. Kita tahu, bahwa sekitar 63 persen penduduk miskin di Indonesia hanya memperoleh pendidikan setara sekolah dasar atau tidak bersekolah sama sekali.

Saling melengkapi

Dalam penelitian tahun 2019, tim peneliti menyimpulkan bagaimana anak miskin akan tetap miskin ketika dewasa setelah menguji tujuh faktor yang mungkin berpengaruh pada peningkatan penghasilan mereka dan menemukan bahwa kondisi anak-anak tersebut tidak berubah setelah 14 tahun.

Ketujuh hal yang dibandingkan adalah status kemiskinan hasil tes kognitif, hasil tes matematika, lama bersekolah, kapasitas paru-paru (untuk menggambarkan kondisi kesehatan), koneksi pekerjaan melalui kerabat, dan hasil tes kecenderungan depresi.

Sebagai ilustrasi, salah satu yang diuji adalah hasil tes matematika. Rupanya, walaupun ada kesamaan nilai matematika yang diperoleh antara anak-anak yang miskin dan yang tidak, namun ketika mereka beranjak dewasa, pendapatan si anak miskin tetap jauh dari pendapatan si anak tidak miskin saat dewasa.

Artinya, pendidikan (yang digambarkan melalui hasil tes matematika) tidak berdampak signifikan pada penghasilan anak-anak miskin pada masa depan dibandingkan anak-anak kaya.

Lewat penelitian kami tahun 2015, bisa disimpulkan bahwa hal ini bisa terjadi karena anak-anak miskin dan anak-anak tidak miskin memiliki modal yang tidak seimbang dari keluarganya.

Hal ini yang mengakibatkan mereka tidak berada pada garis awal yang sejajar dalam memperoleh kesempatan ekonomi.

Lalu, bagaimana dengan berbagai intervensi pemerintah, seperti Program Keluarga Harapan atau Kebijakan Kota dan Kabupaten Layak Anak (KLA) yang diciptakan untuk menjamin terpenuhinya hak anak untuk hidup secara layak, tanpa kekerasan dan diskriminasi?

Pemerintah perlu melakukan penelitian yang berkualitas baik untuk dapat mengevaluasi efektivitasnya dan memastikan bahwa program mereka dapat meningkatkan kesejahteraan anak-anak miskin!

Rendy A Diningrat
Researcher, SMERU Research Institute

---

Artikel ini tayang di Kompas.com berkat kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Tulisan di atas diambil dari artikel asli berjudul "Mengapa anak dari keluarga miskin cenderung akan tetap miskin ketika dewasa: penjelasan temuan riset SMERU". Isi di luar tanggung jawab Kompas.com.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Remaja di Jerman Tinggal di Kereta Tiap Hari karena Lebih Murah, Rela Bayar Rp 160 Juta per Tahun

Remaja di Jerman Tinggal di Kereta Tiap Hari karena Lebih Murah, Rela Bayar Rp 160 Juta per Tahun

Tren
Ilmuwan Ungkap Migrasi Setengah Juta Penghuni 'Atlantis yang Hilang' di Lepas Pantai Australia

Ilmuwan Ungkap Migrasi Setengah Juta Penghuni "Atlantis yang Hilang" di Lepas Pantai Australia

Tren
4 Fakta Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang, Lokasi di Jalur Rawan Kecelakaan

4 Fakta Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang, Lokasi di Jalur Rawan Kecelakaan

Tren
Dilema UKT dan Uang Pangkal Kampus, Semakin Beratkan Mahasiswa, tapi Dana Pemerintah Terbatas

Dilema UKT dan Uang Pangkal Kampus, Semakin Beratkan Mahasiswa, tapi Dana Pemerintah Terbatas

Tren
Kopi atau Teh, Pilihan Minuman Pagi Bisa Menentukan Kepribadian Seseorang

Kopi atau Teh, Pilihan Minuman Pagi Bisa Menentukan Kepribadian Seseorang

Tren
8 Latihan yang Meningkatkan Keseimbangan Tubuh, Salah Satunya Berdiri dengan Jari Kaki

8 Latihan yang Meningkatkan Keseimbangan Tubuh, Salah Satunya Berdiri dengan Jari Kaki

Tren
2 Suplemen yang Memiliki Efek Samping Menaikkan Berat Badan

2 Suplemen yang Memiliki Efek Samping Menaikkan Berat Badan

Tren
BMKG: Inilah Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 12-13 Mei 2024

BMKG: Inilah Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 12-13 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] Prakiraan Cuaca BMKG 11-12 Mei | Peserta BPJS Kesehatan Bisa Berobat Hanya dengan KTP

[POPULER TREN] Prakiraan Cuaca BMKG 11-12 Mei | Peserta BPJS Kesehatan Bisa Berobat Hanya dengan KTP

Tren
Kronologi Kecelakaan Bus di Subang, 9 Orang Tewas dan Puluhan Luka-luka

Kronologi Kecelakaan Bus di Subang, 9 Orang Tewas dan Puluhan Luka-luka

Tren
Warganet Pertanyakan Mengapa Aurora Tak Muncul di Langit Indonesia, Ini Penjelasan BRIN

Warganet Pertanyakan Mengapa Aurora Tak Muncul di Langit Indonesia, Ini Penjelasan BRIN

Tren
Saya Bukan Otak

Saya Bukan Otak

Tren
Pentingnya “Me Time” untuk Kesehatan Mental dan Ciri Anda Membutuhkannya

Pentingnya “Me Time” untuk Kesehatan Mental dan Ciri Anda Membutuhkannya

Tren
Bus Pariwisata Kecelakaan di Kawasan Ciater, Polisi: Ada 2 Korban Jiwa

Bus Pariwisata Kecelakaan di Kawasan Ciater, Polisi: Ada 2 Korban Jiwa

Tren
8 Misteri di Piramida Agung Giza, Ruang Tersembunyi dan Efek Suara Menakutkan

8 Misteri di Piramida Agung Giza, Ruang Tersembunyi dan Efek Suara Menakutkan

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com