Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mimpi Buruk Pemanasan Global (2): Diracun di Udara dan Lautan

Kompas.com - 08/12/2019, 18:45 WIB
Nibras Nada Nailufar

Penulis

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan pertama, Mimpi Buruk Pemanasan Global (1): Jakarta hingga Markas Facebook Tenggelam.

KOMPAS.com - Kotornya langit Jakarta yang jadi perbincangan selama 2019 kemungkinan tak akan bertambah baik seperti harapan kita.

Kalau pun bertambah baik karena kita berhasil mengurangi polusi udara, kemungkinan sudah terlambat untuk mengembalikan kesehatan kita sendiri.

Pada 2017, Ibu Kota India, New Delhi menjadi kota dengan polusi terparah di dunia. Setiap hari, 26 juta warganya harus menghirup udara yang sama dengan pembakaran dua bungkus rokok sehari.

Tahun ini saja, sekolah di New Delhi terpaksa harus diliburkan beberapa hari karena buruknya polusi udara.

Baca juga: Polusi Jakarta Parah, Jangan Berharap Sehat dengan Pakai Masker Kain Murah

Jurnal kesehatan The Lancet pada 2017 melaporkan sembilan juta kematian bayi prematur disebabkan polusi udara. Lebih dari seperempatnya dari India. Itu pun sebelum polusi udara memuncak pada 2017.

Dalam laporannya soal dampak polusi udara bagi perilaku dan tumbuh kembang anak, Unicef memaparkan sejumlah penelitian. Efek dari polusi udara lebih seram dari sekadar sakit pernapasan.

Bagi anak-anak, polusi udara bisa melemahkan ingatan, atensi, hingga kosa kata. Polusi juga berkaitan dengan potensi Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dan spektrum autisme.

Di Jakarta, kondisinya masih lebih baik walau tak baik-baik amat. Setiap hari, warga Jakarta seperti menghisap dua hingga tiga batang rokok ketika bernafas.

Saat ini, 10.000 orang meninggal tiap harinya karena polusi udara. Angka ini akan terus meningkat.

Baca juga: Pakai Masker, Priyanka Chopra Keluhkan Polusi Udara di Delhi

Buruknya kualitas udara juga akan disebabkan oleh kekeringan. Akibat krisis iklim, tanah akan menjadi kering dan berdebu seperti gurun.

Ketika tersapu angin, akan terjadi "badai debu". Debu yang terhirup punya dampak serupa seperti pneumonia atau paru-paru basah.

Dikutip dari The Uninhabitable Earth: Life After Warming (2019), diproyeksikan 70 tahun dari sekarang, sekitar dua miliar orang di seluruh dunia akan menghirup udara di atas ambang batas sehat yang ditetapkan World Health Organization (WHO).

Plastik di mana-mana

Polusi tak cuma berasal dari asap kendaraan dan buangan pabrik. Plastik yang kita buang selama ini, kini kembali ke kita, masuk ke paru-paru.

Baca juga: Jangan Sembarang Bakar Sampah Plastik, Bahaya Dioksin Mengancam

Bagaimana bisa kantong kresek dan sedotan yang kita buang berakhir di paru-paru kita?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Alasan Semua Kereta Harus Berhenti di Stasiun Cipeundeuy, Bukan untuk Menaikturunkan Penumpang

Alasan Semua Kereta Harus Berhenti di Stasiun Cipeundeuy, Bukan untuk Menaikturunkan Penumpang

Tren
Indonesia Vs Guinea, Berikut Perjalanan Kedua Tim hingga Bertemu di Babak Playoff Olimpiade Paris 2024

Indonesia Vs Guinea, Berikut Perjalanan Kedua Tim hingga Bertemu di Babak Playoff Olimpiade Paris 2024

Tren
Pelatih Guinea soal Laga Lawan Indonesia: Harus Menang Bagaimanapun Caranya

Pelatih Guinea soal Laga Lawan Indonesia: Harus Menang Bagaimanapun Caranya

Tren
8 Pencetak Gol Terbaik di Piala Asia U23 2024, Ada Dua dari Indonesia

8 Pencetak Gol Terbaik di Piala Asia U23 2024, Ada Dua dari Indonesia

Tren
WHO Temukan 3 Kasus di Riyadh, Ketahui Penyebab dan Pencegahan MERS- CoV Selama Ibadah Haji

WHO Temukan 3 Kasus di Riyadh, Ketahui Penyebab dan Pencegahan MERS- CoV Selama Ibadah Haji

Tren
Pertandingan Indonesia Vs Guinea Malam Ini, Pukul Berapa?

Pertandingan Indonesia Vs Guinea Malam Ini, Pukul Berapa?

Tren
Benarkah Antidepresan Bisa Memicu Hilang Ingatan? Ini Penjelasan Ahli

Benarkah Antidepresan Bisa Memicu Hilang Ingatan? Ini Penjelasan Ahli

Tren
WHO Peringatkan Potensi Wabah MERS-CoV di Arab Saudi Saat Musim Haji

WHO Peringatkan Potensi Wabah MERS-CoV di Arab Saudi Saat Musim Haji

Tren
Mengapa Lumba-lumba Berenang Depan Perahu? Ini Alasannya Menurut Sains

Mengapa Lumba-lumba Berenang Depan Perahu? Ini Alasannya Menurut Sains

Tren
Cara Cek NIK KTP Jakarta yang Non-Aktif dan Reaktivasinya

Cara Cek NIK KTP Jakarta yang Non-Aktif dan Reaktivasinya

Tren
Berkaca dari Kasus Mutilasi di Ciamis, Mengapa Orang dengan Gangguan Mental Bisa Bertindak di Luar Nalar?

Berkaca dari Kasus Mutilasi di Ciamis, Mengapa Orang dengan Gangguan Mental Bisa Bertindak di Luar Nalar?

Tren
3 Bek Absen Melawan Guinea, Ini Kata Pelatih Indonesia Shin Tae-yong

3 Bek Absen Melawan Guinea, Ini Kata Pelatih Indonesia Shin Tae-yong

Tren
Alasan Israel Tolak Proposal Gencatan Senjata yang Disetujui Hamas

Alasan Israel Tolak Proposal Gencatan Senjata yang Disetujui Hamas

Tren
Pendaftaran Komcad 2024, Jadwal, Syaratnya, dan Gajinya

Pendaftaran Komcad 2024, Jadwal, Syaratnya, dan Gajinya

Tren
Studi Baru Ungkap Penyebab Letusan Dahsyat Gunung Tonga pada 2022

Studi Baru Ungkap Penyebab Letusan Dahsyat Gunung Tonga pada 2022

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com