Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Prostitusi di Batu, Kok Orang Justru Fokus pada Sosok PA?

Kompas.com - 27/10/2019, 19:33 WIB
Vina Fadhrotul Mukaromah,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Baru-baru ini kasus prostitusi semakin sering terjadi. Kasus terbaru yang telah banyak diberitakan adalah dugaan prostitusi di Kota Batu, Malang, Jawa Timur.

Penangkapan tersebut diperoleh dari hasil penggerebekan di sebuah kamar hotel wilayah Kota Batu, Jumat (25/10/2019).

Ada tiga orang yang ditangkap, dua orang laki-laki dan seorang wanita yang dikaitkan sebagai public figure.

Sebelumnya juga telah banyak kasus prostitusi yang diketahui terjadi dan beberapa di antaranya juga tidak jarang menyorot korban, terutama apabila korban memiliki peran tertentu, baik public figure maupun status sosial lain.

Lantas, kenapa korban lebih banyak disorot ketimbang para germo atau mucikari dan 'pelanggan'?

Baca juga: Kasus PA, Hukum, dan Perlindungan Perempuan dalam Lingkar Prostitusi

Menurut dosen dan peneliti Antropologi Gender dan Seksualitas dari Universitas Indonesia, Irwan Martua Hidayana, di dalam masyarakat Indonesia, terutama dari kalangan penegak hukum, seringkali pekerja seks menjadi sasaran utama.

"Apalagi kalau misalnya, seseorang yang dianggap sebagai public figure, itu yang menjadi semacam sasaran empuk bagi media sehingga kemudian kadang-kadang saya melihat penegak hukum sendiri mengambil peluang itu ketika kasusnya misalnya terkait dengan public figure itu kemudian ini bisa di-blow up," tutur Irwan saat dihubungi Kompas.com, Minggu (27/10/2019).

Ia menilai bahwa fenomena ini bukanlah hal yang baru, tetapi penanganan prostitusi menurutnya memang selalu mengarah kepada korban.

Irwan mengungapkan bahwa diglorifikasinya korban dalam kasus penangkapan prostitusi juga tidak dapat lepas dari soal cara pandang.

Pekerja seks dicap amoral, pelanggan tak tersentuh

Ia mengatakan bahwa pekerja seks memiliki konotasi yang negatif di masyarakat. Jadi, dapat dipahami ketika praktik implementasi hukumnya pun lebih mengarah kepada pekerja seks, dalam hal ini adalah perempuan.

Sementara itu, 'pelanggan', yang sebagian besar laki-laki dinilainya cenderung tak tersentuh.

"Memang kadang-kadang dalam konteks razia, iya digrebek, tapi kemudian biasanya pelanggan cenderung lebih mudah dilepaskan. Sementara pekerja seksnya dikirim ke panti sosial segala macam," ujarnya.

"Jadi saya pikir ini juga soal cara pandang terhadap pekerja seks perempuan, karena secara sosial, secara budaya menjadi pekerja seks, ada cap stigma amoral, asusila, bukan perempuan baik-baik segala macam," ungkap Irwan.

Ia menilai bahwa ini merupakan standar ganda, yaitu ketika ada perempuan menjadi pekerja seks, kemudian dicap jelek. Berbeda dengan cap yang diterima oleh mucikari atau 'pelanggan'.

"Karena jarang sekali kita mendengar soal pelanggan laki-laki. Kalo laki-laki pelanggan pekerja seks, palingan dicap apa, hidung belang atau apa, tapi kan konotasinya tidak seperti pekerja seks ya, yang tadi saya bilang soal amoral, asusila, dan penyakit masyarakat. Itu adalah cap-cap yang selalu muncul," papar Irwan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com