Kesimpulan tersebut diperoleh setelah mereka melakukan eksperimen yang mencatat kadar ketagihan dari ratusan orang selama beberapa minggu.
Dari eksperimen tersebut, ditarik kesimpulan bahwa kecanduan media sosial menduduki peringkat teratas daripada kecanduan rokok dan alkohol.
Sementara, peneliti di Universitas Harvard menghubungkan orang-orang dengan mesin MRI fungsional untuk memindai otak para pecandu media sosial dan melihat apa yang terjadi saat mereka berbicara tentang diri mereka sendiri.
Tindakan ini merupakan bagian terpenting dari apa yang dilakukan orang di media sosial.
Hasilnya, para peneliti ini menemukan bahwa komunikasi pengungkapan diri dapat merangsang pusat kesenangan otak, seperti halnya seks dan makanan.
Sejumlah dokter juga mengamati gejala kecemasan, depresi, dan beberapa gangguan psikologis pada seseorang yang menghabiskan terlalu banyak waktu di media sosial.
Namun, hanya sedikit bukti yang mengungkapkan bahwa penggunaan media sosial atau internet yang menyebabkan gejala tersebut.
Riset lainnya, seorang peneliti dari Massachusetts Institute of Technology, Sherry Turkle, telah menulis secara mendalam tentang dampak media sosial terhadap hubungan.
Kesimpulannya, Turkle berpandangan, media sosial sebenarnya melemahkan ikatan manusia.
Tak hanya itu, dalam bukunya "Alone Together: Why We Expect More fom Technology and Less from Each Other", Turkle mencatat beberapa dampak negatif yang terus-menerus dihubungkan dengan teknologi.
Secara paradoks dinilai dapat membuat seseorang merasa lebih kesepian.
Namun, peneliti lain telah menyimpulkan bahwa jejaring sosial dapat membuat orang merasa lebih baik tentang diri mereka sendiri dan lebih terhubung dengan masyarakat.
Beberapa orang menganggap, penggunaan media sosial secara berlebih hanyalah bentuk terbaru dari gangguan kecanduan internet.
Hal ini berawal dari, sebuah fenomena yang pertama kali ditulis seseorang pada 1990-an, ketika penggunaan internet yang berlebih dapat mengganggu kinerja seseorang di tempat kerja, di sekolah, bahkan dalam hubungan keluarga.
Hingga saat ini, masih belum ada kesepakatan bahwa penggunaan berlebih dari layanan internet atau jejaring sosial bersifat patologis atau dianggap sebagai gangguan medis.
Beberapa orang telah meminta American Psycological Association (APA) untuk menambahkan kecanduan internet pada buku pedoman kesehatan resmi tentang kelainan medis.
Tetapi, pihak APA sejauh ini menolaknya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.