Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Siap Mental Gunakan Media Sosial, Apa Potensi Risikonya?

Kompas.com - 13/10/2019, 14:01 WIB
Nur Rohmi Aida,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Media sosial kini seakan menjadi "sahabat" sebagian besar orang. Tak ada hari tanpa membuka media sosial.

Entah sebagai hiburan, pengisi waktu, atau bahkan mungkin ada yang menganggapnya sebagai kebutuhan utama.

Tahukah Anda, bagi mereka yang tak siap secara mental, penggunaan media sosial bisa berisiko terhadap kesehatan mental.

Kok bisa?

Dokter spesialis kesehatan jiwa di RS Gading Pluit, Kelapa Gading, Jakarta Utara, dr Dharmawan AP, SpKJ, mengungkapkan, dari pengalamannya menangani pasien, tak sedikit kasus gangguan mental yang timbul karena tak bijak dalam penggunaan media sosial.

Salah satu pemicunya karena iri hati dan ketidakpuasan terhadap diri sendiri setelah melihat unggahan teman atau pengguna lainnya di media sosial.

Baca juga: Komentari Kasus Wiranto, Bagaimana Etika Bermedia Sosial yang Baik?

“Pasien saya banyak yang konsul karena media sosial. Mereka enggak ngerti, saat melihat teman-temannya di Instagram hebat-hebat, bisa begini, bisa begitu," kata Dharmawan, saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (12/10/2019).

Dampaknya terhadap mental tak hanya bagi yang melihatnya, tetapi juga bagi mereka yang sering berbagi di media sosial demi kebutuhan konten dan pengakuan dari para pengikutnya.

Ia menjelaskan, ada yang mengupayakan apa pun, termasuk berutang, untuk memenuhi kebutuhan penampilan yang akan diunggah di media sosial.

"Ada pula yang datang (konsultasi) karena banyak dilliit utang demi tampil di Instagram,” kata dia.

Bijak gunakan media sosial

Dharmawan mengatakan, media sosial seharusnya digunakan sebagai media komunikasi untuk berbagi berbagai informasi yang bermanfaat.

Akan tetapi, banyak yang tak bijak menggunakannya, sehingga dimanfaatkan untuk unggahan yang bertujuan pamer, memiliki intensi untuk mendapatkan pengakuan, maupun penyebaran informasi tidak benar.

“Saat orang melihat informasi, otaknya membentuk pemikiran dan mengolah informasi. Ketika informasi yang didapat salah, maka timbullah pemikiran salah. Misal, dia menjadi berpikiran ‘Oh mestinya begini ya’. Padahal itu tidak benar. Kemudian dirinya mulai membandingkan, sehingga mulai timbul rasa bersalah dan semacamnya,” papar Dharmawan.

Sementara, bagi mereka yang berbagi foto atau informasi, memiliki tujuan beragam.

Baca juga: Media Sosial Bahayakan Mental Remaja Perempuan, Studi Tunjukkan Sebabnya

Ada yang ingin mendapatkan "like", mengundang komentar, dan kemudian memunculkan rasa senang atas respons yang didapatkan.

Namun, jika respons yang diharapkan tak sesuai dengan keinginan, tak sedikit yang mengalami munculnya kecemasan.

“Ada pasien yang kepribadiannya histrionic (suka diperhatikan), narsistik (suka dipuji-puji), hingga mereka harus ngutang, cemas enggak ada yang like. Ada juga yang adiksi media sosial hingga sebentar-sebentar harus melihat medsos,” kata dia.

Menurut Dharmawan, candu atau adiksi media sosial adalah kondisi di mana seseorang membutuhkan waktu yang lebih lama untuk berinteraksi di media sosial dan sulit mengalihkan perhatiannya.

Dalam kehidupan nyata, kecanduan media sosial akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja, karena terus menerus memantau media sosial.

Jika hal itu tidak dilakukan, akan merasa cemas.

“Ada juga yang gara-gara dapat broadcast pendek-pendek dianggap kebenaran. Akibatnya dia merasa benar, hingga timbul konflik dalam keluarga sampai kemudian timbul distress dan disability pada dirinya,” kata Dharmawan.

Baca juga: Pengamat Ingatkan Risiko Terjadinya Perang karena Media Sosial

Dharmawan menyebutkan, sebagian besar pasien yang datang kepadanya dan mengeluh mengalami gangguan akibat media sosial, berusia 23-40 tahun.

Menurut Dharmawan, pada rentang usia ini, seseorang sedang bergulat dengan dirinya terkait awal karier dan membangun impian jangka panjang.

Oleh karena itu, ia mengingatkan, agar bijak dalam penggunaan media sosial.

“Media sosial itu fungsinya untuk komunikasi, bukan untuk mainan. Dipakai komunikasi seperlunya, jangan nongkrongin medsos terus,” ujar dia.

Penanganan

Untuk penanganan orang-orang yang mengalami gangguan mental akibat medsos, menurut Dharmawan, tergantung kondisi pasien.

Penanganan tersebut bisa dengan obat, terapi elektrik maupun magnetik.

Ada pula teknik logo terapi. Metode teknik logo terapi ini dilakukan dengan mengajak pasien mencari makna mengenali hiperintension.

“Saat intensionnya berlebihan, dia cemas, lalu direfleksi, dan pelan-pelan diajak memaknai kejadiannya,” ujar Dharmawan.

Selain terapi-terapi di atas, banyak terapi lainnya seperti behavior dialectical teraphy, CBT, rational emotif, serta ada pula narasi psikodinamik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Pemkab Sleman Tak Lagi Angkut Sampah Organik Warga, Begini Solusinya

Pemkab Sleman Tak Lagi Angkut Sampah Organik Warga, Begini Solusinya

Tren
Kapan Waktu Terbaik Minum Vitamin?

Kapan Waktu Terbaik Minum Vitamin?

Tren
Daftar Negara yang Mendukung Palestina Jadi Anggota PBB, Ada 9 yang Menolak

Daftar Negara yang Mendukung Palestina Jadi Anggota PBB, Ada 9 yang Menolak

Tren
Mengenal Como 1907, Klub Milik Orang Indonesia yang Sukses Promosi ke Serie A Italia

Mengenal Como 1907, Klub Milik Orang Indonesia yang Sukses Promosi ke Serie A Italia

Tren
Melihat Lokasi Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang, Jalur Rawan dan Mitos Tanjakan Emen

Melihat Lokasi Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang, Jalur Rawan dan Mitos Tanjakan Emen

Tren
Remaja di Jerman Tinggal di Kereta Tiap Hari karena Lebih Murah, Rela Bayar Rp 160 Juta per Tahun

Remaja di Jerman Tinggal di Kereta Tiap Hari karena Lebih Murah, Rela Bayar Rp 160 Juta per Tahun

Tren
Ilmuwan Ungkap Migrasi Setengah Juta Penghuni 'Atlantis yang Hilang' di Lepas Pantai Australia

Ilmuwan Ungkap Migrasi Setengah Juta Penghuni "Atlantis yang Hilang" di Lepas Pantai Australia

Tren
4 Fakta Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang, Lokasi di Jalur Rawan Kecelakaan

4 Fakta Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang, Lokasi di Jalur Rawan Kecelakaan

Tren
Dilema UKT dan Uang Pangkal Kampus, Semakin Beratkan Mahasiswa, tapi Dana Pemerintah Terbatas

Dilema UKT dan Uang Pangkal Kampus, Semakin Beratkan Mahasiswa, tapi Dana Pemerintah Terbatas

Tren
Kopi atau Teh, Pilihan Minuman Pagi Bisa Menentukan Kepribadian Seseorang

Kopi atau Teh, Pilihan Minuman Pagi Bisa Menentukan Kepribadian Seseorang

Tren
8 Latihan yang Meningkatkan Keseimbangan Tubuh, Salah Satunya Berdiri dengan Jari Kaki

8 Latihan yang Meningkatkan Keseimbangan Tubuh, Salah Satunya Berdiri dengan Jari Kaki

Tren
2 Suplemen yang Memiliki Efek Samping Menaikkan Berat Badan

2 Suplemen yang Memiliki Efek Samping Menaikkan Berat Badan

Tren
BMKG: Inilah Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 12-13 Mei 2024

BMKG: Inilah Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 12-13 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] Prakiraan Cuaca BMKG 11-12 Mei | Peserta BPJS Kesehatan Bisa Berobat Hanya dengan KTP

[POPULER TREN] Prakiraan Cuaca BMKG 11-12 Mei | Peserta BPJS Kesehatan Bisa Berobat Hanya dengan KTP

Tren
Kronologi Kecelakaan Bus di Subang, 9 Orang Tewas dan Puluhan Luka-luka

Kronologi Kecelakaan Bus di Subang, 9 Orang Tewas dan Puluhan Luka-luka

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com