Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dituding Menebarkan Kebencian, Berikut Profil Dandhy Dwi Laksono...

Kompas.com - 27/09/2019, 10:44 WIB
Dandy Bayu Bramasta,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sutradara, aktivis dan jurnalis, Dandhy Dwi Laksono ditangkap polisi di rumahnya pada Kamis (26/9/2019) malam.

Menurut kuasa hukum Dandhy, Alghifari Aqsa, Dandhy ditangkap polisi dengan tuduhan menebarkan kebencian berdasarkan SARA.

 

Dhandy dituding telah melanggar Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Sebelumnya, Dandhy sempat dijemput oleh polisi di rumahnya pada Kamis (26/9/2019) malam.

Namun, pihak kepolisian akhirnya memutuskan untuk tidak menahan Dandhy.

"Hari ini beliau dipulangkan, tidak ditahan. Kita menunggu proses selanjutnya dari kepolisian," ujar Alghifari.

Lantas, siapakah Dandhy Dwi Laksono?

Diberitakan Harian Kompas, 7 Januari 2014, Dandhy Dwi Laksono lahir di Lumajang, Jawa Timur, 29 Juni 1976.

Ia merupakan lulusan dari jurusan hubungan internasional Universitas Padjadjaran, Bandung.

Baca juga: Banyak Kekerasan terhadap Jurnalis, Dewan Pers Didesak Aktifkan Pedoman Khusus

Pernah sebagai jurnalis

Dandhy memiliki beberapa pengalaman di bidang jurnalis, di antaranya media cetak, radio, dan televisi.

Selain itu, ia juga pernah mendirikan media perdamaian acehkita.com dan WatchdoC.

Namun, dalam pengalamannya sebagai jurnalis, kerap menemui hambatan.

Dandhy pernah "diusir" dari stasiun TV swasta di tempatnya bekerja karena memberitakan tentang korban darurat militer di Aceh membuat marah pihak yang berkuasa.

Padahal, rencana peliputan sudah disetujui rapat redaksi. Di stasiun televisi swasta lain tempatnya bekerja sesudah itu, ia diminta menghentikan pemberitaan suatu kasus.

Sebenarnya, Dandhy sudah bekerja sebagai jurnalis pada tahun 1998 pada satu tabloid ekonomi.

Saat itu, ia dibenturkan pada pertarungan idealisme di industri media.

Hal sama juga terjadi saat ia bergabung dengan satu stasiun radio swasta. Ia tak bisa lagi bersikap naif pada notion "tugas mulia" jurnalisme.

"Metodologinya tak bermasalah, ontologinya yang bermasalah," ujar Dandhy suatu pagi di kantornya, di ujung Jakarta Timur.

Jurnalisme model demikian terus dia temui sepanjang kariernya di media cetak, radio, dan televisi.

"Jadi saya tidak mulai di media yang ideal. Saya langsung bertemu yang buruk," kenangnya.

Baca juga: Rekam Pengeroyokan di Samping JCC, Jurnalis Kompas.com Diintimidasi Polisi

Pendiri WatchdoC

Pada tahun 2009, ia bersama sahabatnya Andhy Panca Kurniawan, mantan Pemimpin Redaksi kantor Berita Radio Voice of Human Rights, mendirikan rumah audio-visual WatchdoC.

Hal tersebut didasari atas keinginannya untuk mencari ruang dalam memberi informasi namun juga tersirat pengetahuan didalamnya.

"Semua kami mulai dari nol," kenang Dandhy.

"Kami tak pinjam bank karena tak ada jaminan, tak ada lagi gaji bulanan. Kami beli kamera dari hasil mengajar dan 'ngamen' (menjadi narasumber). Kami menolak investor karena dalam logika investor, pola relasi kuasanya sama saja." lanjutnya.

"Pernah tahun 2010 kami tidak bergaji sama sekali. Uang masuk untuk gaji karyawan, untung istri saya bekerja," papar Dandhy.

WatchdoC juga menjadi laboratorium pola relasi seimbang di news room dan niat berbagi saham dengan karyawan.

Baca juga: AJI: Jurnalis Alami Kekerasan karena Merekam Aksi Brutal Polisi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com