KOMPAS.com - Foto-foto yang menunjukkan poster dan spanduk dengan tulisan bernada humor dan sarat sindiran saat aksi demo mahasiswa di Gedung DPR sejak Senin (23/9/2019) hingga Selasa (24/9/2019) viral di media sosial.
Para yang mahasiswa yang ikut aksi tersebut terlihat membawa poster dengan tulisan bernada sarkastis untuk mengkritik kebijakan pemerintah saat ini.
Kalimat yang dicantumkan dalam poster-poster itu di antaranya, "Cukup cintaku yang kandas, KPK jangan", "Hutan yang kebakaran, KPK yang dipadamkan", "DPR jangan minta dicubit", dan lain-lain.
Sosiolog dari Universitas Airlangga, Novri Susan, menilai, cara yang digunakan untuk menyuarakan aspirasi ini adalah wujud dari bentuk humor politik yang digunakan untuk menilai pengorganisasian kekuasaan formal negara.
"Gerakan protes mahasiswa saat ini banyak menggunakan humor politik untuk mengoreksi beberapa persoalan terkait kebijakan yang dianggap distortif dalam konsep demokrasi,"ujar dia, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (25/9/2019).
Baca juga: Demo Pelajar Berujung Rusuh, Mendikbud: Jangan Gampang Terprovokasi
Novri mengatakan, ada dua hal penting terkait tujuan penggunaan humor politik oleh kalangan milenial.
Apa saja dua hal penting itu?
Pertama, membangun jaringan sosial dan solidaritas di antara kalangan sendiri karena bahasa paling dekat di era ini adalah penggunaan konsep humor.
Kedua, memberi tekanan terhadap elite-elite politik sebagai identitas milenial yang lebih inklusif dan mencoba jauh dari bahasa kekerasan.
"Pada era 1998 misalnya, seni perlawanan para mahasiswa menggunakan bahasa yang tajam dan keras. Sangat berbeda dengan karakter para mahasiswa era milenial," tambah dia.
Baca juga: Buntut Demo Anarkistis, DPRD Sumbar Lapor Polisi Soal Perusakan Gedung dan Penjarahan
"Ini adalah satu kesadaran penting agar demokrasi tetap berjalan secara baik dan konstruktif," kata Novri.
Ia juga menilai, poster atau spanduk dengan tulisan sarkastik tersebut bisa menjadi gerakan awal untuk membentuk jaringan dan menekan struktur kekuasaan negara.
Namun, hal tersebut bisa berubah menjadi perlawanan keras politik, yaitu penggunaan bahasa-bahasa yang lebih tajam jika tidak ada perubahan kebijakan sesuai aspirasi publik.
"Jadi, menurut saya, DPR dan Presiden segera memberi respons progresif dari tuntutan para mahasiswa. Sebelum berubah dari humor politik menjadi kekerasan politik," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : Infografik: Empat Poin Tuntutan Aksi https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.