Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hukuman Kebiri Kimia, dari Wacana, Pro Kontra, Terbitnya Perppu, hingga Vonis untuk Aris

Kompas.com - 26/08/2019, 10:17 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

Melalui perppu ini, pemerintah mengubah dua pasal dari UU sebelumnya, yaitu Pasal 81 dan Pasal 82, serta menambahkan satu Pasal 81A.

Baca juga: Cerita di Balik Kebiri Kimia di Mojokerto, Kesulitan Mencari RS untuk Eksekusi hingga Belum ada Juknis dari MA

Perppu tersebut memperberat hukuman bagi pelaku kejahatan seksual, yaitu hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal penjara 20 tahun dan minimal 10 tahun.

Selain itu, Perppu ini juga menyebutkan tiga hukuman tambahan, yaitu kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, dan pemasangan alat deteksi elektronik.

Usai penandatanganan perppu, Jokowi berharap Perppu tersebut dapat memberikan ruang kepada hakim untuk memberikan hukuman seberat-beratnya dan memberikan efek jera kepada pelaku.

Ia berharap, aturan ini dapat menekan angka kejahatan seksual terhadap anak.

Menurut Jokowi, kejahatan seksual terhadap anak merupakan kejahatan luar biasa yang dapat mengancam masa depan dan tumbuh kembang anak.

Pro dan kontra hukuman kebiri kimia

Pro dan kontra mengenai penerapan hukum kebiri mencuat setelah pemerintah mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono menilai, perppu kebiri yang dikeluarkan pemerintah tak progresif.

"Saya kira tadinya akan ada penambahan yang sifatnya progresif. Semisal mengharuskan negara memberi kompensasi dana kepada korban untuk melakukan pengobatan fisik dan rehabilitasi secara psikologis," kata Supriyadi, yang biasa disapa Supi, seperti diberitakan Kompas.com, 25 Mei 2016.

Baca juga: Hukuman Kebiri Kimia Belum Ada Juknis, Kejati Jatim Tunggu Petunjuk Jaksa Agung

Ia mengatakan, selama ini sudah ada payung hukum yang mengatur hukuman terhadap tindak kekerasan seksual.

Namun, penerapannya belum maksimal.

Sementara itu, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Asrorun Ni'am Sholeh mengapresiasi langkah Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Menurut dia, melalui perppu ini, egara hadir dalam melindungi anak Indonesia dari ancaman kekerasan seksual.

Menurut Asrorun, Presiden mengambil keputusan yang sangat radikal dan bisa menjadi tonggak kepeloporan dalam perlindungan anak di tengah polemik urgensi penerbitan Perppu.

Masyarakat yang kontra terhadap hukuman itu menganggap pemerintah telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Baca juga: Kebiri Kimia di Mojokerto, Kejaksaan Masih Mencari Rumah Sakit untuk Eksekusi Hukuman

Menanggapi tudingan itu, Deputi Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Sujatmiko, menegaskan pemerintah akan tetap memerhatikan koridor hukum.

"Perppu ini akan diterapkan dengan tetap memperhatikan koridor hukum, termasuk penghormatan terhadap HAM, baik pelaku maupun korban. Perppu ini sangat diperlukan untuk melindungi para korban yang merupakan kelompok rentan, perempuan dan anak," kata Sujatmiko, seperti diberitakan Kompas.com, 26 Mei 2016.

Menurut dia, hukuman kebiri kimia tidak berlaku bagi pelaku yang masih anak-anak.

Pelaksanaannya juga diawasi secara ketat oleh ahli jiwa dan ahli kesehatan.

IDI menolak jadi eksekutor

Polemik hukuman kebiri terus berlanjut ketika Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri.

Menurut Ketua Umum IDI Ilham Oetama Marsis, pelaksanaan hukuman kebiri oleh dokter dianggap melanggar Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com