Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Generasi Tanpa Komunitas

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai hipotesis yang disebutkan di atas, terlebih dulu mari kita lihat fakta lapangan yang dikutip dari lembaga penyedia data.

BPS, misalnya, menyebutkan pada 2022 saja, sebanyak 40,25 persen anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun sudah menguasai atau memiliki gawai.

Lalu 91,82 persen untuk mereka yang berusia 15 - 24 tahun; 74,09 persen pada mereka yang berusia 25 - 64 tahun; dan 27,45 persen untuk usia di atas 65 tahun.

Mari kita cermati lebih jauh, pada layer usia kurang dari 15 tahun dan 15 - 24 tahun. Kedua entitas umur ini adalah generasi yang akan mewarisi, mengkonstruksi, dan membangun bangsa ini pada masa mendatang.

Tentu saja secara positif kepemilikan gawai itu bisa jadi didasarkan pada kebutuhan real pendidikan hari ini, maupun pola komunikasi masyarakat umum yang tidak bisa lepas dari internet dan gawai.

Namun semua pihak harus menyadari bahwa terdapat potensi dampak negatif dari kepemilikan atau penguasaan atas gawai dan internet tersebut.

Satu di antaranya yang akan kita bahas di sini adalah meluruhnya semangat komunitarian atau komunitas dalam kehidupan mereka.

Di antara fungsi negatif dari terhubungnya seseorang melalui gawainya ke internet adalah dia bisa ”lari” dari kehidupan sosialnya dan kemudian membenamkan diri pada ruang maya.

Memang di dalam ruang maya tersebut terdapat beragam grup atau komunitas yang kemudian bisa membangun hubungan-hubungan sosial emosional antara anggotanya.

Namun, kelemahan dari model hubungan di dunia maya adalah relasinya lebih bersifat artifisial. Dalam arti, mereka berhubungan sesuai dengan kepentingan pragmatisnya, yang bisa dengan cepat mengalami putus nyambung.

Pola dan model hubungan seperti ini tentu saja begitu rentan. Pasalnya, dalam prosesnya, konektivitas atau relasi yang terjadi terlahir karena model hubungan tidak terlembaga.

Berbeda dengan model dalam pola hubungan dalam suatu komunitas. Dalam komunitas, pola-pola hubungan terjadi berproses secara gradual dan kemudian mengalami kristalisasi menjadi suatu sistem.

Sistem inilah yang kemudian merawat hubungan-hubungan antarindividu dalam ruang sosial tersebut. Selain itu, sistem ini juga yang membuat hubungan-hubungan antaranggota dalam komunitas tersebut menjadi terikat dan indah.

Kehadiran gawai dan internet tentu banyak sekali mereduksi hubungan-hubungan model konvensional. Selain medianya juga berubah, pola dan bahasa relasinya juga berubah.

Namun yang paling signifikan perubahan terjadi dari sistem pemilihan subjek yang berhubungan. Di mana setiap subjek berkuasa untuk menjalin relasi maupun memutuskannya, tanpa harus merasa bahwa ikatan yang terjadi sebelumnya merupakan sesuatu yang bisa membangun sistem.

Maka jika demikian halnya, kita sedang bergerak menuju kepada suatu dunia, yang generasinya hanya merupakan individu-individu. Itu pun hanya merupakan bit-bit digital yang terkoneksi di dunia maya dengan bahasa dan sistemnya sendiri.

Di mana sistem ini sangat berpotensi menghasilkan kristalisasi individual, karena hubungan-hubungan yang terjadi di dalamnya lebih bersifat individu yang rentan.

Inilah yang kemudian bisa kita sebut sebagai “Generasi Tanpa Komunitas”.

Disebut generasi tanpa komunitas karena generasi ini sepertinya tidak lagi memerlukan ruang-ruang sosial yang bersifat kultural-primordial.

Ruang-ruang yang ada dalam komunitas maya lebih bersifat teknis pragmatis. Jika pun kemudian terjadi hubungan-hubungan, mereka lebih banyak karena terhubung dan terikat dalam suatu ruang yang bernama bisnis.

Dalam bisnis relasi-relasi antarsubjek telah dikonversi menjadi hubungan simbiosis-mutualisme yang diwujudkan dalam produk yang bernama gaji atau pendapatan.

Sehingga selama pola hubungan itu masih saling menghasilkan pendapatan bagi keduanya, maka hubungan itu masih akan terjadi. Sebaliknya, jika hubungan tersebut sudah tidak lagi berdampak pada pendapatan, maka kebanyakan hubungan antarmereka berakhir.

Generasi tanpa komunitas merupakan dan sekaligus bersumber pada, jika mengacu pada data di atas, mereka yang hari ini kulturnya sangat terikat dengan gawai dan internet.

Tentu jika harus dilihat lebih detail, mereka ada pada kelompok yang berusia antara 15 sampai 24 tahun.

Usia ini secara psikologis memang ada pada fase labil dan transisi. Pilihan mereka untuk menjadi individu, di satu sisi bisa jadi tepat, namun di sisi lain juga bisa menjadi ancaman bagi mereka sendiri.

Sebab sudah menjadi pengetahuan umum bahwa tidak semua yang berkaitan dengan pendapatan dan kesejahteraan, masa depan, dan lain-lain, hanya dibasiskan pada skill dan keterampilan.

Bahkan dalam beberapa hal jaringan dan kepercayaan justru jauh lebih berperan kepada seseorang untuk meningkatkan status sosial budaya dan ekonominya di tengah masyarakat.

Sehingga jika saja algoritma hari ini bisa mengkonstruksi suatu relasi berbasis kepercayaan dengan tingkat akurasi tinggi, maka sudah sewajarnya jika kita mendefinisikan ulang tentang komunitas.

Dengan data-data di atas pula kita bisa menemukan celah bahwa generasi tanpa komunitas sesungguhnya sudah merambat menjadi cara pandang, bahkan sikap sendiri pada mereka yang hari ini terhubung melalui gawai dan internet.

Pada masa mendatang, generasi tanpa komunitas seperti ini kemudian akan melakukan banyak pembatasan pada relasi-relasi sosial kultural mereka sehari-hari.

Ancaman terbesar dari mengkristalnya generasi tanpa komunitas adalah kekayaan dan kemewahan pada indahnya komunitas yang di dalamnya ada sistem sosial yang mengikat dan merekatkan mereka itu bisa jadi hilang.

Jika sudah seperti ini, maka kita bisa mengucapkan: selamat datang generasi para robot.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/11/23/083257465/generasi-tanpa-komunitas

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke