Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

UU Pelindungan Data Pribadi dan Peran Strategis Data sebagai "New Oil"

Kondisi ini semakin menyadarkan kita bahwa kedaulatan dan keamanan data dalam negeri adalah sesuatu yang harus menjadi prioritas.

Hal yang harus dituangkan kedalam regulasi dan kebijakan yang akan berdampak pada ekonomi dan transformasi digital nasional dalam berbagai sektor.

Sebagai 'new oil', data memiliki nilai tak terhingga. Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan menekankan, agar para penguasa data bukan hanya dapat memahami kebiasaan dan perilaku masyarakat.

Namun juga dapat memanfaatkan algoritma dari data dan dapat mengendalikan preferensi masyarakat (Kompas.com, 9/2/2023).

Kondisi dan ekosistem ini penting untuk dijadikan prinsip dasar pembuatan regulasi turunan Undang-Undang No. 27 tahun 2022 tentang pelindungan Data Pribadi (UU PDP), sebagai peraturan implementatif UU PDP yang lebih operasional.

Regulasi pelaksana ini harus secara implementatif-transformatif mampu mendorong dua hal, ekosistem pelindungan data pribadi di satu sisi, dan optimalisasi pemanfaatan data sebagai 'new oil' oleh para pengendali data secara akuntabel dan governance.

Peraturan turunan ini penting sebagai dasar kepastian hukum operasionalisasinya.

Data sebagai ‘New Oil’

Sebagaimana dirilis Forbes, 8 Maret 2022 dalam laporan berjudul, 'Data as The New Oil Is Not Enough: Four Principles For Avoiding Data Fires', bahwa gagasan data sebagai 'New oil' sudah ada sejak lama, hal ini sering dikreditkan kepada seorang ahli matematika bernama Clive Humby.

Terkait penting dan strategisnya data, sebelumnya ada juga referensi yang dikemukakan Neelie Kroes, Vice President of The European Commission Responsible for The Digital Agenda yang mengistilahkan data sebagai 'new gold' (2011).

Kroes pada intinya menyatakan bahwa data adalah emas, ‘kita punya sebuah tambang emas besar dalam administrasi publik, mari kita mulai menambangnya’, urai Kroes.

Kroes juga mengajak untuk menggunakan data untuk menghasilkan layanan baru.

Kembali ke laporan Forbes, dikatakan bahwa, seperti layaknya 'minyak', data sangat berharga, tetapi jika tidak dimurnikan, maka tidak dapat benar-benar digunakan.

Data mentah tentu harus diolah agar memiliki nilai. Agar bisa menjadi ‘new oil’, data juga harus diurai, diklasifikasi, dan dianalisis.

Dalam praktiknya secara pragmatis, data dapat digunakan untuk dasar analitik, hipotetik, penentuan strategi.

Misalnya dalam rangka mendorong minat pelanggan, peningkatan penjualan, menemukan model pendapatan baru, periklanan, dan lainnya.

Forbes menyatakan bahwa jika data adalah ‘new oil’, maka insight berbasis data itu identik dengan ‘pendapatan’ baru.

Referensi lainnya, juga dikemukakan oleh Profesor Jer Thorp yang menulis pada 'Harvard Business Review' 30/11/2012 dengan judul Big Data Is Not the New Oil yang intinya menyatakan bahwa kita perlu mengubah cara kita berpikir secara kolektif tentang data, sehingga ini bukan minyak baru, melainkan jenis sumber daya yang sama sekali baru.

Agar hal ini terjadi, kita perlu menumbuhkan pemahaman yang mendalam tentang data di masyarakat.

Jer Throp tampaknya justru melihat data tidak sekadar ‘new oil’, dan tidak mengkomparasikan keduanya. Jer Throp memilih mengklasifikasikan data sebagai sumber daya baru berdasarkan analisis baru.

Pemikiran ini bisa menjadi relevan, dan menunjukan begitu tingginya nilai data. Dibandingkan dengan minyak bumi yang memiliki karakter sumber daya tak terbarukan, semakin hari semakin menipis, dan suatu saat akan habis, data justru merupakan sumber daya yang bisa terus permanen, bahkan tumbuh dan berkembang dari hari ke hari menjadi big data yang semakin besar.

Data bisa terus bertambah seiring dengan kontribusi para subjek data dan aktivitas yang mereka lakukan setelah terkoneksi ke platform digital, dan proses algoritma yang terus berlangsung. Dalam posisi ini sesungguhnya data memiliki nilai melebihi 'new oil'.

Nilai strategis ini yang menjadi alat luar biasa untuk hal-hal yang telah dikemukakan terdahulu, juga bisa menjadi instrumen untuk memprediksi, mengambil keputusan, bahkan mengarahkan perilaku dan minat pelanggan.

Di bidang sosial budaya, big data dengan bantuan algoritma dan AI, juga sangat potensial digunakan untuk mengarahkan publik kearah preferensi tertentu dengan formula filter bubble.

Perkembangan pesat teknologi dan transformasi digital membuat data begitu limpah ruah. Data pun dengan mudah dan secara generatif terus tumbuh.

Sebagai contoh ketika pada awalnya seseorang hanya mengirimkan data berupa nama, email atau nomor telepon seluler ketika menginstal aplikasi GPS, maka data itu bisa terus tumbuh seiring aktivitas dinamisnya sebagai pengguna GPS berbasis tapak digital, atau digital foot print penggunanya.

Terkait dengan pemanfaatan data sebagai ‘new oil’, maka Forbes dalam laporannya mewanti-wanti hal-hal yang harus diperhatikan, yaitu pertama, terkait asal-muasal data (data Provenance) untuk keyakinan akurasi dan kebenarannya.

Hal ini menjadi penting apalagi jika dijadikan sumber data yang diolah berdasarkan penggunaan Artificial Intelligence (AI). Sumber data yang salah tentu dapat berikat fatal.

Kedua, terkait kebolehan dan larangan atas data tersebut sebagai data pribadi. Hal ini terkait dengan peraturan perundang-undangan.

Di Indonesia kita memiliki UU PDP. Untuk Indonesia, setiap Pengendali Data tentu harus memahami apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, apa saja hak-hak subjek data sesuai UU PDP dan ketentuan implementasinya.

Ketiga, bagaimana langkah untuk memastikan agar tidak kehilangan data. Forbes menunjukan bahwa aspek penting lain dari perlindungan data adalah memastikan data tetap tersedia bagi mereka yang membutuhkannya.

Semakin penting data bagi perusahaan, maka semakin besar dampak kerugian bisnisnya jika data itu hilang.

Keempat, terkait bagaimana cara beralih ke data yang berguna. Seperti telah dikemukakan bahwa data mentah, adalah ibarat minyak mentah, tidak terlalu siap digunakan.

Agar data dapat dimanfaatkan maka perlu proses yang disebut penyiapan data, pembersihan data, atau rekayasa fitur bila dilakukan dengan berfokus pada AI.

Referensi lain dikemukakan The Pycoach, seorang ilmuwan dan pengamat big data. Dalam tulisannya berjudul Is Data The New Oil of the 21st Century or Just an Overrated Asset? (Toward Data Science, 21/7/2022), intinya mengatakan bahwa data dan minyak, jarang digunakan dalam keadaan mentah.

Jika minyak tidak dimurnikan, maka tidak dapat digunakan. Agar minyak bermanfaat, ia harus diekstraksi, disuling, dan didistribusikan.

Hal yang sama terjadi dengan data. Data harus diproses terlebih dahulu sebelum siap untuk dianalisis.

Peraturan Pelaksana UU PDP

Seiring berkembangnya model bisnis digital dan transformasi digital dalam berbagai sisi kehidupan, maka akan semakin banyak perusahaan yang memposisikan data sebagai aset bisnis terbesar mereka.

Demikian juga untuk administrasi pemerintahan dan pelayanan publik, data merupakan kunci terpenting.

Bagaimana mungkin Pemerintah dapat melakukan program bantuan penduduk miskin, program BPJS, Pelayanan Pendidikan, Kesehatan dll, jika tanpa data yang akurat.

Dalam kondisi inilah maka UU PDP tidak hanya memiliki tujuan dan fungsi melindungi data pribadi setiap orang, tapi juga memberi kepastian hukum untuk pengendali data dalam pemanfaatan data pribadi dan big data tersebut.

Hal ini diamanatkan pada pasal 3 huruf d UU PDP yang menyebutkan bahwa salah satu asasnya adalah 'kemanfaatan'.

UU PDP juga seperti tertuang dalam penjelasan umumnya, memiliki misi selain melindungi dan menjamin hak dasar warga negara terkait dengan pelindungan diri pribadi, menjamin masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dari Korporasi, Badan Publik, Organisasi Internasional, dan Pemerintah.

Juga mendorong pertumbuhan ekonomi digital dan industri teknologi informasi dan komunikasi, dan mendukung peningkatan daya saing industri dalam negeri.

Oleh karena itu, UU PDP tidak dimaksudkan untuk menjadi ketakutan bagi korporasi dalam memanfaatkan big data.

Sejalan dengan fungsi strategis data ini, maka PP dan Perpres sebagai pelaksanaan UU harus menjadi landasan kepastian hukum penggunaan big data yang merupakan aset tak ternilai ibarat ‘sumber tambang’ yang harus digali dan dimanfaatkan.

Memasuki setengah tahun berlakunya UU PDP, banyak pelaku usaha yang bertanya-tanya tentang dampak apa yang akan terjadi setelah masa transisi 2 tahun dan semua korporasi harus menyesuaikan sebagai pengendali data dengan UU PDP.

Pemerintah tentu juga sangat memahami fungsi strategis data ini, oleh karena itu pembuatan peraturan implementasi UU PDP berupa peraturan pemerintah dan peraturan presiden, karena akan menjadi regulasi operasional, maka harus benar-benar bisa mengakomodasi fenomena global terkait big data itu.

Peraturan implementasi di satu sisi harus berperan menjadi garda terdepan pelindungan dan keamanan data, dan di sisi lain menjadi regulasi yang berfungsi sebagai akselerator pemanfaatan data sebagai pendukung peningkatan daya saing industri dalam negeri.

Sesuai dengan prinsip hukum transformatif, di mana hukum tidak semata-mata berfungsi untuk terciptanya ketertiban, kepastian dan keadilan, tetapi juga harus berfungsi kemanfaatan, dan infrastruktur transformasi, maka jiwa peraturan pelaksana itu tentu akan diproyeksikan untuk menjaga dan mengawal secara baik misi UU PDP untuk menciptakan sebesar-besarnya maslahat bagi negeri ini.

Oleh karena itu, PP dan Perpres harus bertumpu pada dua paradigma, yaitu pelindungan subjek data pribadi di satu sisi dan pemanfaatan big data sebagai ‘new oil’ di sisi lain.

Kita memang harus menghindari dasar pikir parsial secara sempit, yang bisa membuat pengambil keputusan dan dunia usaha nasional terjebak pada kondisi tidak bisa memanfaatkan fungsi strategis data sebagai aset luar biasa itu.

Jika sampai terjadi para pengendali data tidak dapat memanfaatkan data sebagai aset dan sumber daya baru karena salah regulasi, maka kerugiannya adalah, selain yang akan menikmati keuntungannya aset itu adalah pihak asing, juga akan menghambat pertumbuhan ekonomi, industri, dan transformasi digital itu sendiri.

Dengan kata lain, peraturan pelaksana ini harus menjadi dasar kepastian hukum. Dalam konteks inilah hukum harus berfungsi sebagai infrastruktur transformasi pendorong kemajuan negeri ini agar berdaya saing global.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/03/10/125124365/uu-pelindungan-data-pribadi-dan-peran-strategis-data-sebagai-new-oil

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke