Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

"Serial Killer" Bekasi Bunuh Keluarga demi Tutupi Kejahatan, Kriminolog: Dehumanisasi!

KOMPAS.com - Satu keluarga di Ciketing Udik, Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, dipastikan meninggal dunia akibat dibunuh dengan cara diracun.

Tersangka pembunuhan merupakan kepala keluarga, Wowon Erawan, beserta dua pelaku lain yakni Solihin dan Muhammad Dede Solehudin.

Diberitakan Kompas.com, Kamis (19/1/2023), para pelaku tega membunuh keluarga sendiri karena korban mengetahui pembunuhan dan penipuan sebelumnya yang dilakukan pelaku.

Pelaku ini membunuh para korban sebelumnya karena korban menagih janji akan diberi kekayaan dengan bantuan kemampuan supranatural.

"Sebelum membunuh satu keluarga di Bekasi, para pelaku melakukan serangkaian pembunuhan atau biasa disebut serial killer," ujar Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran, dalam konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Kamis (19/1/2023).

Adapun berdasarkan penyelidikan sementara, korban pembunuhan berantai dari ketiga tersangka hingga saat ini berjumlah 9 orang.

Korban terdiri dari 3 orang di Bekasi, 4 orang di Cianjur, 1 orang di Garut, dan 1 korban lain masih dicari.

Lantas, bagaimana kriminolog memandang kasus pembunuhan berantai di Bekasi ini?

Tak lepas dari konteks sosial

Melihat fenomena serial killer di Bekasi, kriminolog dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Yesmil Anwar mengatakan, kejahatan di Indonesia saat ini sudah masuk tahap bubrah atau amburadul.

"Artinya kualitas dan kuantitas kejahatan meningkat terus," kata dia, saat dihubungi Kompas.com pada Jumat (20/1/2023).

Sebagai seorang kriminolog, Yesmil tak bisa melepaskan kasus ini dari konteks sosial, yaitu terjadinya perubahan sosial di Indonesia yang dipicu oleh beberapa faktor, termasuk dunia maya.

Menurut dia, pembunuhan berantai bisa terjadi karena adanya pergeseran antara perilaku yang dulu ditabukan tetapi saat ini tak lagi ditabukan.

Belum lagi, pengaruh masalah ekonomi, politik, sosial, serta peran dari luar Indonesia.

"Ketika gagal dalam berusaha menerjemahkan norma-norma yang tidak bisa diterima masyarakat, ya ampasnya itu menjadi kejahatan," kata Yesmil.

Yesmil menilai, Bekasi semula merupakan suburban, sebuah kota kecil yang mengelilingi Jakarta.

Puluhan tahun lalu, kota ini masih merupakan daerah yang belum semaju dan seramai saat ini.

Kendati demikian, perubahan sosial membuat Bekasi menjadi ramai dan tingkat kriminalitasnya pun turut meningkat.

"Sehingga kontrol sosial di sana agak sulit, apalagi sekarang jumlah penegak hukum atau polisi jauh lebih sedikit dengan kebutuhan masyarakat," papar Yesmil.

Kasus pembunuhan berantai dan sederet kejahatan lain di Bekasi maupun wilayah lain di Indonesia turut dipicu oleh proses penegakan hukum.

Yesmil mengatakan, saat ini Indonesia sudah memiliki peraturan perundang-undangan. Namun, para penegak hukum dinilai masih kurang profesional dan jumlahnya belum memadai.

Terlebih, masih ada kekurangan fasilitas untuk mendukung keberlangsungan penegakan hukum.

"Kenapa pembunuhan berantai sekarang banyak sekali? Karena sekarang orang-orang merasa akan aman. Kita mengandalkan CCTV, karena kurang polisi (yang mengawasi), dan lain-lain, padahal CCTV kadang juga bisa gagal," jelasnya.

Dehumanisasi, tega membunuh untuk tutupi kejahatan

Tindakan keji Wowon dan dua tersangka lain menghabisi nyawa keluarganya merupakan tanda dari dehumanisasi.

Menurut Yesmil, dehumanisasi menjadi bagian dari proses masyarakat yang sudah sangat terbuka.

"Masyarakat kita sudah sangat terbuka, dalam artian positif bagus, tapi kalau dalam artian negatif, seperti menjadi tega, ya ini yang terjadi," ujar dia.

Terkait motif pembunuhan berantai yang dilakukan tersangka, dia mengatakan bahwa sesungguhnya tak perlu untuk dibuka.

Kendati demikian, bagi seorang kriminolog, motif menjadi bagian penting dari kejahatan yang harus ditelusuri agar dapat digunakan sebagai pencegahan tindakan serupa.

Adapun umumnya, terdapat tiga motif yang memacu seseorang melakukan tindak pidana, yakni:

"Mulailah dari sana untuk bisa mendalami itu, untuk bisa mendapatkan kejelasan dari kasus itu sendiri," kata Yesmil.

Dia melanjutkan, umumnya tak ada motif tunggal dalam melakukan kejahatan terutama pembunuhan. Biasanya, satu motif masih tetap akan berkaitan dengan motif lainnya.

Guna menghindari semakin maraknya kasus menghilangkan nyawa orang dan kejahatan kekerasan lain, Yesmil beranggapan bahwa harus ada penambahan pengawasan dari pihak kepolisian.

"Bekasi sekarang jadi lumbung kejahatan kekerasan, mungkin harus ditambah kantor polisi. Tetapi polisi itu bukan satu-satunya untuk mencegah kejahatan," ujar dia.

Selain polisi, tokoh-tokoh di lingkungan masyarakat juga bisa menjadi bagian dari pencegahan kejahatan karena sosoknya dinilai membawa banyak pengaruh.

"Masyarakat terutama tokoh masyarakat bisa menjadi bagian dari pencegahan kejahatan, bukan hanya di tangan polisi," tandasnya.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/01/20/141500365/-serial-killer-bekasi-bunuh-keluarga-demi-tutupi-kejahatan-kriminolog-

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke