Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Jokowi, Lika-liku Konflik Rusia-Ukraina, dan Harapan Perdamaian dari Indonesia

KOMPAS.com - Setelah sempat "menghela napas" akibat pandemi Covid-19, krisis ekonomi baru kini mulai mengintai dunia.

Bayang-bayang krisis baru itu dimulai pada 24 Februari 2022 ketika Rusia mulai menginvasi Ukraina.

Dampak krisis pun sudah terlihat nyata.

Berdasarkan perhitungan organisasi bank dunia, Dana Moneter Dunia (IMF), dan PBB, ada sekitar 60 negara yang perekonomiannya terancam ambruk.

Bahkan 42 di antaranya sudah dipastikan akan runtuh.

Dasar invasi Rusia ke Ukraina

Presiden Rusia Vladimir Putin berdalih, invasi ini bertujuan untuk melindungi orang-orang yang menjadi sasaran intimidasi dan genosida dan bertujuan untuk "demiliterisasi dan de-Nazifikasi" Ukraina.

Padahal, tak ada genosida di Ukraina. Presiden Ukraina Volodymr Zelenskyy pun merupakan seorang Yahudi.

Karena itu, banyak pihak menilai invasi ini didasari atas kegusaran Rusia akan rencana Ukraina untuk bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Perlu diingat, sejarah kehadiran NATO tak lepas dari kekhawatiran Barat atas Uni Soviet.

Dengan adanya ekspansi NATO yang semakin ke timur, khususnya di Ukraina, Rusia akan benar-benar berhadapan langsung dengan NATO.

Akibat konflik Rusia-Ukraina, harga minyak dan gas terus melonjak akibat minimnya pasokan global. Sebab, Rusia adalah salah satu produsen dan pengekspor bahan bakar fosil terbesar di dunia.

Harga yang naik mendorong pemerintah negara-negara di dunia mengambil langkah-langkah untuk meringankan kesulitan keuangan bagi konsumen.

Selain itu, konflik ini juga akan menyebabkan krisis sistem pangan global.

Diketahui, Rusia dan Ukraina adalah lumbung pangan dunia, menyumbang 30 persen dari ekspor gandum global.

Organisasi Pangan dan Pertanian PBB mengatakan jumlah orang yang kekurangan gizi dapat meningkat delapan hingga 13 juta orang selama tahun ini dan tahun depan.

Konflik ini juga menjadi penghambat pemulihan ekonomi global yang sebelumnya hancur akibat pandemi Covid-19.

Saat menghadiri KTT Khusus ASEAN-AS Mei lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyerukan agar perang Rusia-Ukraina segera dihentikan.

Sebab, perang di Ukraina telah menciptakan tragedi kemanusiaan dan perburukan ekonomi global.

"Perang tidak akan menguntungkan siapa pun. Dunia tidak memiliki pilihan lain kecuali menghentikan perang sekarang juga," ujar Jokowi dalam pidatonya.

"Setiap negara, setiap pemimpin memiliki tanggung jawab untuk menciptakan enabling environment agar perang dapat dihentikan, perdamaian dapat terwujud," tegasnya.

Hari ini, Rabu (29/6/2022), Presiden Joko Widodo membuktikan komitmennya untuk menghentikan konflik Rusia-Ukraina.

Ia telah tiba di Kyiv untuk menemui Zelenskyy dalam misi perdamaian guna mencari solusi konflik.

Tak hanya menemui Zelenskyy, Jokowi juga dijadwalkan akan bertemu dengan Putin untuk misi yang sama.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana pun mengapresiasi langkah Jokowi.

Menurutnya, Jokowi dapat mengupayakan kesepakatan senjata guna mencegah terjadinya tragedi kemanusiaan dan ancaman krisis pangan lebih besar.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia diharapkan dapat selalu menjaga ketertiban dunia.

Kunjungan Jokowi kali ini pun merupakan bagian dari penegakkan prinsip politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia.

"Indonesia tidak berpihak kepada Ukraina maupun Rusia sehingga tidak memberi bantuan senjata kepada Ukraina maupun memberi dukungan kepada Rusia atas operasi militer khususnya," kata Hikmahanto, dikutip dari pemberitaan Kompas.com (27/6/2022).

(Sumber: Kompas.com/Nur Romi Aida, Ahmad Naufal DzulfarohDian Erika Nugraheny | Editor: Dani Prabowo, Sari Hardiyanto)

https://www.kompas.com/tren/read/2022/06/29/204400265/jokowi-lika-liku-konflik-rusia-ukraina-dan-harapan-perdamaian-dari

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke