Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Dua Syarat Menginternasionalkan Bahasa Indonesia

Bahkan dalam Tajuk Rencana-nya, hal itu ditegaskan kembali dengan judul “Menduniakan Bahasa Indonesia”.

Itu artinya, bahasa Indonesia yang telah digunakan oleh 269 juta orang layak dan pantas untuk dijadikan bahasa internasional, khususnya di Asia Tenggara.

Namun, persoalan mengubah bahasa, dari bahasa lokal ke bahasa nasional, termasuk bahasa global, yang berpengaruh terhadap identitas budaya menarik untuk dikaji dengan jeli dan waspada.

Sebab bahasa yang terlanjur dipandang sebagai persoalan hidup atau mati akan sangat memegang peranan dalam penentuan identitas.

Dengan kata lain, orang bisa dibunuh, atau bahkan saling bunuh, jika dianggap keliru atau salah dalam berbahasa.

Hanya saja, di Indonesia memang lain. James Siegel, ahli budaya asal Cornell University, Amerika Serikat, dalam kajiannya yang berjudul “Berbahasa” (dalam Henri Chambert-Loir, Sadur. Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, Jakarta: KPG, École française d'Extrême-Orient , Forum Jakarta-Paris, Pusat Bahasa Universitas Padjajaran, 2009), menjelaskan bahwa tidak ada kebijakan bahasa yang berarti di negeri yang penduduknya banyak dan beragam serta lazim berdwibahasa.

Artinya, selain berbahasa ibu di daerah masing-masing, juga masih berbahasa Indonesia. Tak heran jika jarang terdengar keluh-kesah berbahasa, apalagi mengenai terjemahan, baik antara bahasa-bahasa daerah dan bahasa Indonesia, atau bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa asing.

Itulah mengapa ada perasaan bahwa semua bahasa dapat tampil dalam bahasa Indonesia dan seolah-olah bahasa Indonesia mudah dipelajari oleh semua bahasa.

Kecuali bagi orang-orang Barat, penerjemahan bahasa mereka ke dalam bahasa Indonesia selalu dipandang serba salah.

Apa yang membuat hal itu mungkin terjadi? Benedict Anderson (2009), ahli politik dari Cornell University pula, menegaskan bahwa ada satu lingua franca yang dapat menerima segala macam terjemahan menjadi suatu bahasa yang tidak perlu diterjemahkan.

Bahasa yang sejak tahun 1910-an dan 1920-an telah dipakai oleh para jurnalis, aktivis, esais/cerpenis sebagai bahasa pergerakan yang bergaya “lisan”, multilingual, dan “liar”.

Mas Marco Kartodikromo, misalnya, yang merupakan jurnalis ternama di Jawa, dipandang sebagai tokoh pergerakan yang berbahasa “koyok Cino” (seperti Cina).

Itulah bahasa yang kerap disalahnamai sebagai “Melayu Rendah”, “Melayu Betawi”, atau Melayu bazaar (pasar)”.

Dengan bahasa macam ini, perlawanan terhadap kolonialisme yang bersifat menyeragamkan masyarakat dalam suatu gagasan masyarakat plural (plural society) dapat dikerjakan dengan “cerdas” dan “tajam”, serta “cepat”.

Artinya, pemberontakan lewat bahasa yang praktis meski tidak mengenakkan itu secara tak terduga mampu merusak, mematah-matahkan, atau mengacaubalaukan proyek-proyek kolonial yang selalu dijaga kekebalan dan kelancarannya dengan pasal-pasal hukum haatzai artikelen (penyebar kebencian) atau delik-delik pers (pers delict).

Kwee Thiam Tjing, atau Tjamboek Berdoeri, jurnalis “Soeara Poeblik” di era 1920-an, sempat menjadi penghuni penjara lantaran dituduh sebagai “oproerkraier” (tukang tiup api pemberontakan).

Dengan bahasa “campuran”, “campur aduk”, “gado-gado”, atau “oblok-oblok” (mengeltaal/mischprache) yang tidak hanya mempunyai satu rasa, dia memuji, mencela, bahkan memaki sobat, musuh, famili, pembesar atau preman, termasuk Kanjeng Gubernemen Hindia Belanda.

Maka, tatkala “Bahasa Indonesia” dicanangkan sebagai “bahasa persatuan” pada tahun 1928, bahasa Mas Marco atau Opa Kwee justru dikarantina oleh lembaga-lembaga bahasa milik pemerintah kolonial Belanda seperti Volkslectuur (Bacaan Rakyat) atau Balai Poestaka.

Sebab bahasa mereka dianggap bukan bahasa Melayu yang dipakai oleh banyak kaum dan bukan asli milik pribumi.

Dengan kata lain, bahasa itu tidak termasuk dalam bahasa “Melayu Tinggi” yang dipandang benar dan steril dari sisa-sisa bahasa lain.

Terhadap ide bahasa persatuan itu, Soesilo, intelektual muda Indonesia di era 1930-an, menulis bahwa bahasa yang digagas atau dibangun sebagai calon bahasa aspal dari sebuah bangsa yang baru tumbuh menjadi berbahaya ketika justru berdampak menghilangkan perjuangan untuk melawan apa pun, termasuk sebuah “akrobat otak”.

Sementara Sarmidi Mangunsarkoro, seorang guru di Taman Siswa, memperingatkan bahwa bahasa yang dipoles dan diseragamkan secara seksama akan menyulitkan untuk berbicara dan menulis secara vokal.

Sedangkan Sjafroeddin Prawiranegara, rekan Sarmidi dan juga aktivis mahasiswa Indonesia-Islam, menegaskan bahwa bahasa tidak boleh menjadi mesin atau instrumen, apalagi komoditas.

Sebab bahasa yang dikendalikan oleh pasar akan membenamkan kontradiksi-kontradiksi yang menggerakkan sejarah sebuah bangsa dan mengakibatkan: “Barat terlalu banyak bicara” (Mrázek, 2006).

Dari paparan seperti itu jelas bagaimana sesungguhnya persoalan bahasa di Indonesia bukan karena semata-mata masalah pengubahan bahasanya, akan tetapi justru pada klaim-klaim yang diciptakan untuk memberi “identitas” pada bahasa itu sendiri.

Hal yang kerap dipusingkan oleh para bahasawan, termasuk fakultas-fakultas sastra, yang dengan genit ingin memingit sebuah bahasa dalam kaputren.

Padahal, seperti ditemukan oleh para kalangwan/pujangga di masa lalu, bahwa dunia bahasa, termasuk sastra, adalah “dunia tanpa dinding” (Anderson, 2004).

Karena itu, menjadi tidak penting lagi untuk mempersoalkan jenis bahasa apa yang mampu memberi identitas dalam masyarakat Indonesia yang plural.

Yang justru mendesak untuk dipikirkan adalah bagaimana keluar dari pingitan mitologis bahasa yang telah mengurung keragaman identitas dalam keseragaman budaya yang kolektif.

Jantung dari mitologi itu adalah kekuatan yang menjadi elemen dari sesuatu yang tidak dapat dikontrol, tetapi sekaligus perlu dikontrol (Siegel, 2010).

Dalam berbahasa, elemen itu bisa menimbulkan kerawanan dan kerapuhan yang berpotensi menghasilkan masalah sosial.

Contohnya, “Cina”, misalnya. Sebagai bahasa sehari-hari yang bernada ejekan, seperti “Chink”, “Chinese” atau “Intsik”, “Cina” sebenarnya tidak menunjuk pada identitas budaya, melainkan pada identitas politik yang berakar pada kelas sosial tertentu.

Identitas itulah yang digunakan, khususnya selama era Orde Baru, untuk menamai kaum keturunan Tionghoa dalam bahasa diskriminasi rasial yang di awal abad ke-19 dijuluki sebagai “Cina wurung, Londo durung, Jawa Tanggung” (“bukan lagi Cina, belum Belanda, dan Jawa setengah matang”).

Ironisnya, bahkan setelah Orde Baru tumbang, bahasa seperti itu masih saja tetap bertahan.

Karena itulah, bahasa Indonesia yang masih mempermasalahkan tempat dan identitas para pemakainya perlu untuk segera direkonstruksi.

Sebab bahasa yang seperti itu tidak mudah untuk dijadikan sebagai lingua franca.

Sebagaimana telah dikaji oleh Siegel di atas, sejauh bahasa Indonesia tetap bersifat lingua franca, internasionalisasi bahasa tersebut tidak akan menimbulkan masalah apapun.

Sebab dalam bahasa itu sudah terjalin konsensus di antara para pemakainya untuk tidak saling mencerminkan dan, dengan demikian, tidak saling menyebabkan rasa rikuh.

Dua syarat dasar inilah yang patut dan layak dijadikan pondasi jika bahasa Indonesia tengah disiapkan untuk diajukan sebagai bahasa dunia yang tidak menyebabkan setiap orang kesulitan untuk berbahasa. Beranikah?

https://www.kompas.com/tren/read/2022/05/18/071000065/dua-syarat-menginternasionalkan-bahasa-indonesia

Terkini Lainnya

20 Ucapan dan Twibbon Hari Buruh 1 Mei 2024

20 Ucapan dan Twibbon Hari Buruh 1 Mei 2024

Tren
Wasit VAR Sivakorn Pu-Udom dan Kontroversinya di Piala Asia U23 2024

Wasit VAR Sivakorn Pu-Udom dan Kontroversinya di Piala Asia U23 2024

Tren
Penjelasan PVMBG soal Gunung Ruang Kembali Meletus, Bisa Picu Tsunami

Penjelasan PVMBG soal Gunung Ruang Kembali Meletus, Bisa Picu Tsunami

Tren
100 Gerai KFC Malaysia Tutup di Tengah Aksi Boikot Produk Pro-Israel

100 Gerai KFC Malaysia Tutup di Tengah Aksi Boikot Produk Pro-Israel

Tren
5 Korupsi SYL di Kementan: Biaya Sunatan Cucu, Beli Mobil untuk Anak, hingga Bayar Biduan

5 Korupsi SYL di Kementan: Biaya Sunatan Cucu, Beli Mobil untuk Anak, hingga Bayar Biduan

Tren
Apa Itu Identitas Kependudukan Digital (IKD)? Berikut Tujuan dan Manfaatnya

Apa Itu Identitas Kependudukan Digital (IKD)? Berikut Tujuan dan Manfaatnya

Tren
AstraZeneca Akui Ada Efek Samping Langka pada Vaksinnya, Ahli dan Kemenkes Buka Suara

AstraZeneca Akui Ada Efek Samping Langka pada Vaksinnya, Ahli dan Kemenkes Buka Suara

Tren
Studi: Mengurangi Asupan Kalori Diyakini Bikin Umur Lebih Panjang

Studi: Mengurangi Asupan Kalori Diyakini Bikin Umur Lebih Panjang

Tren
10 Rekomendasi Ras Anjing Ramah Anak, Cocok Jadi Peliharaan Keluarga

10 Rekomendasi Ras Anjing Ramah Anak, Cocok Jadi Peliharaan Keluarga

Tren
Terjadi Penusukan WNI di Korea Selatan, 1 Orang Dilaporkan Meninggal Dunia

Terjadi Penusukan WNI di Korea Selatan, 1 Orang Dilaporkan Meninggal Dunia

Tren
Ramai soal Kinerja Bea Cukai Dikeluhkan, Bisakah Dilaporkan?

Ramai soal Kinerja Bea Cukai Dikeluhkan, Bisakah Dilaporkan?

Tren
Viral, Video Perempuan Terjebak di Kolong Commuter Line Stasiun UI, Ini Kata KCI

Viral, Video Perempuan Terjebak di Kolong Commuter Line Stasiun UI, Ini Kata KCI

Tren
Kapan Pertandingan Indonesia Vs Irak untuk Memperebutkan Peringkat Ketiga? Simak Jadwalnya

Kapan Pertandingan Indonesia Vs Irak untuk Memperebutkan Peringkat Ketiga? Simak Jadwalnya

Tren
Kucing di China Nyalakan Kompor dan Picu Kebakaran, Dipaksa 'Kerja' untuk Bayar Kerugian

Kucing di China Nyalakan Kompor dan Picu Kebakaran, Dipaksa "Kerja" untuk Bayar Kerugian

Tren
Imbas Gunung Ruang Kembali Erupsi, Bandara Sam Ratulangi Manado Ditutup Sementara hingga Besok

Imbas Gunung Ruang Kembali Erupsi, Bandara Sam Ratulangi Manado Ditutup Sementara hingga Besok

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke