Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Akses NIK Tarifnya Rp 1.000, Apakah Masyarakat Umum Harus Bayar?

KOMPAS.com - Pemerintah berencana menerapkan tarif berbayar untuk akses Nomor Induk Kependudukan (NIK) di database kependudukan.

Hal itu dibenarkan oleh Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dirjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrullah.

Menurut Zudan, tarif yang bakal diberlakukan, yakni sebesar Rp 1.000 untuk per akses database.

"Betul, untuk akses NIK Rp 1.000," ujar Zudan, seperti diberitakan Kompas.com, Jumat (15/4/2022).

Alasan pemerintah menerapkan tarif Rp 1.000 untuk NIK

Dilansir dari dukcapil.kemendagri.go.id, Zudan mengatakan, penerapan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) itu salah satunya bakal dimanfaatkan untuk meningkatkan sistem server Dukcapil Kemendagri.

Adapun kata dia, penerapan PNBP dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia sudah berjalan lama.

Misalnya, pendapatan negara bukan pajak yang dikenakan pemerintah untuk pembuatan SIM, perpanjangan STNK, pelat kendaraan bermotor, pembuatan paspor, sertifikat tanah, meminta data di BPS, pengurusan PT, penempatan notaris, pendidikan dan pelatihan pegawai, serta keperluan lainnya.

Zudan menyebut, ada ribuan jenis PNBP di Indonesia.

Khusus Dukcapil, kata Zudan, salah satu pertimbangan penerapan tarif NIK atau jasa pelayanan akses pemanfaatan data dan dokumen kependudukan adalah untuk menjaga sistem Dukcapil tetap hidup.

"Selain itu juga untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan akurasi data. Sebab, beban pelayanan makin bertambah. Jumlah penduduk dan jumlah lembaga pengguna yang dulu hanya 30 sekarang 5.010 lembaga yang sudah kerja sama, namun anggaran APBN terus turun," ujarnya.


Siapa saja yang dibebankan tarif NIK?

Zudan menjelaskan, sektor usaha yang akan dibebankan tarif NIK adalah lembaga sektor swasta yang bersifat profit oriented.

Namun, lembaga pelayanan publik, seperti BPJS Kesehatan, RSUD, tidak akan dikenai biaya akses NIK.

"Contoh lembaga perbankan, asuransi, pasar modal, sekuritas. Untuk kementerian/lembaga pemerintah, pemda, dan lembaga pelayanan publik seperti BPJS Kesehatan, RSUD semuanya tetap gratis. Dan tidak ada hak akses yang diberikan kepada perorangan. Hak Akses ini hanya untuk lembaga berbadan hukum," kata Zudan.

Sementara itu, Zudan mengaku tidak menargetkan berapa besaran PNBP yang akan diterima terkait kebijakan tersebut.

PNBP tersebut, katanya, akan dimanfaatkan untuk perawatan dan peremajaan server sistem kependudukan.

"Karena hakikatnya tidak untuk mencari pendapatan, tetapi hanya tambahan bagi APBN agar sistem Dukcapil tetap terjaga untuk memberi pelayanan," ujar Zudan.

"PNBP akan dimanfaatkan untuk perawatan dan peremajaan infrastruktur server dan storage Ditjen Dukcapil dalam melayani masyarakat dan lembaga pengguna," lanjut dia.

Apakah menjual data pribadi tidak melanggar prinsip kerahasiaan data pribadi?

Menjawab hal tersebut, Zudan menjelaskan, dalam hal PNBP, jasa pelayanan akses pemanfaatan data dan dokumen kependudukan itu tidak menjual data penduduk dan tidak memberikan data.

Menurutnya, lembaga pengguna sudah punya data dan diverifikasi oleh Dukcapil.

Dukcapil hanya memberikan verifikasi data seseorang dengan notifikasi true or false (sesuai/tidak sesuai).

Ia menambahkan, semua lembaga pengguna data Dukcapil sudah mempunyai data nasabah atau calon nasabah. Data itulah yang diverifikasi ke Dukcapil.

"Sehingga lembaga pengguna bisa memverifikasi data seseorang dengan akurat, secure dan valid. Misalnya, pemilik data tersebut masih cocok tidak datanya dengan Dukcapil, masih hidup, masih sesuai alamatnya, dan lainnya," papar Zudan.


Jaminan perlindungan keamanan data

Pada kesempatan itu, Zudan menjawab isu terkait upaya pemerintah dalam menjamin keamanan data NIK yang diberikan kepada lembaga pengguna atau sektor usaha.

Zudan menjelaskan, sektor swasta yang memanfaatkan akses data kependudukan harus melalui berbagai tahapan/persyaratan.

Di antaranya telah bekerja sama dengan Ditjen Dukcapil (MoU dan PKS), PoC sistem (proof of concept), menandatangani NDA (non disclosure agreement), serta SPTJM (surat pertanggungjawaban mutlak) untuk mematuhi kewajiban menjaga dan melindungi data.

"Serta tidak boleh memindahtangankan data walaupun sudah tidak bekerja sama atau dikenal dengan istilah zero data sharing policy. Para lembaga pengguna juga harus siap mengikuti ketentuan regulasi yang berlaku," tuturnya.

https://www.kompas.com/tren/read/2022/04/17/203000265/akses-nik-tarifnya-rp-1.000-apakah-masyarakat-umum-harus-bayar-

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke