Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

PTM Sudah Dimulai, Orangtua Jangan Mudah Percaya Hoaks soal Vaksin

Mulai semester dua tahun ajaran 2021/2022 satuan pendidikan pada level 1, 2, dan 3 PPKM wajib menggelar PTM dengan kapasitas mulai dari 50 persen hingga 100 persen.

Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Suharti mengatakan, situasi pandemi di Tanah Air yang mulai membaik di akhir tahun 2021 menjadi pertimbangan penyelenggaraan PTM.

“Dalam beberapa bulan terakhir tahun 2021, sudah banyak progres kondisi pandemi (Covid-19) juga membaik, situasi PPKM juga menurun,” kata Suharti seperti diberitakan Kompas.com, Senin (3/1/2021).

Salah satu daerah yang sudah mulai menggelar PTM dengan kapasitas siswa 100 persen adalah Provinsi DKI Jakarta. Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Nahdiana mengatakan, PTM dilaksanakan setiap hari.

"PTM Terbatas dilaksanakan setiap hari (Senin-Jumat). Jumlah peserta didik dapat 100 persen dari kapasitas ruang kelas dengan lama belajar paling banyak 6 jam pelajaran per hari," kata Nahdiana seperti diberitakan Kompas.com, Senin (3/1/2021).

PTM di bawah ancaman Omicron

Dimulainya kembali PTM merupakan angin segar bagi dunia pendidikan Indonesia yang terkena pukulan telak akibat merebaknya virus corona penyebab Covid-19.

Akan tetapi, penyelenggaraan PTM di awal tahun 2022 berada dalam bayang-bayang ancaman penularan virus corona varian Omicron.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, kasus positif Covid-19 akibat varian Omicron mencapai 152 kasus.

"Jadi jumlah kasus Omicron Indonesia sekarang 152, lalu yang sudah sembuh 23 persen dari situ," ujar Luhut seperti diberitakan Kompas.com, Senin (3/1/2021).

Merebaknya penularan Omicron di Indonesia membuat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan PTM hanya dapat diikuti oleh siswa yang sudah mendapatkan vaksinasi Covid-19 dua dosis atau vaksinasi lengkap.

"IDAI merekomendasikan sebagai berikut. Anak yang dapat masuk sekolah adalah anak yang sudah diimunisasi Covid-19 lengkap dua kali dan tanpa komorbid," kata Ketua Umum IDAI Piprim Basarah Yanuarso seperti diberitakan Kompas.com, Minggu (2/1/2022).

Capaian vaksinasi anak

Menurut data Kementerian Kesehatan, per 3 Januari 2022 pukul 18.00 WIB, anak usia 12-17 tahun atau usia SMP-SMA yang telah menerima vaksinasi Covid-19 adalah 26.705.490 orang.

Capaian tersebut terdiri dari 22.805.362 orang sudah menerima vaksin dosis pertama, dan 17.169.434 sudah menerima vaksin dosis kedua atau vaksinasi lengkap.

Sementara itu, vaksinasi anak usia 6-11 tahun atau usia SD menggunakan vaksin Sinovac baru dimulai pada 14 Desember 2021 di sejumlah daerah yang memenuhi kriteria.

Menurut Kemenkes, vaksinasi Covid-19 untuk anak usia 6-11 tahun ini rencananya akan dilakukan secara bertahap.

Pada tahap pertama, vaksinasi anak 6-11 tahun akan dilaksanakan di provinsi dan kabupaten/kota dengan cakupan vaksinasi dosis satu di atas 70 persen, dan cakupan vaksinasi untuk lansia di atas 60 persen.

Kemenkes mencatat hingga kini ada sekitar 8,9 juta jiwa dari 115 kabupaten/kota di 19 provinsi yang telah memenuhi kriteria tersebut, yakni Bali, Banten, Bengkulu, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara.

Untuk program vaksinasi anak 6-11 tahun, Kemenkes telah menyiapkan 6,4 juta dosis vaksin untuk Desember 2021 dan akan ditambah pada Januari 2022.

Tantangan vaksinasi anak

Salah satu tantangan yang harus dihadapi dalam program vaksinasi Covid-19 adalah meyakinkan orangtua bahwa vaksin aman dan bermanfaat untuk buah hati mereka.

Tantangan ini semakin berat karena banyak orangtua yang terpapar hoaks seputar vaksin, sehingga membuat mereka enggan mengizinkan anak mereka mendapatkan vaksin.

Kendala ini terlihat di masa awal program vaksinasi Covid-19 untuk anak usia 12-17 tahun.

Diberitakan Kompas.com, 23 Agustus 2021, Kepala Seksi Pendidikan dan Tenaga Pendidikan Jakarta Barat II, Masduki mengatakan, orangtua yang termakan hoaks menjadi kendala terbesar vaksinasi Covid-19 bagi pelajar di Jakarta Barat.

"Banyak orangtua yang termakan hoaks tentang vaksin Covid-19 jadi sulit anak-anak dapat izin untuk bisa terima vaksin," kata Masduki.

Untuk mengatasi kendala itu, Masduki mengatakan, pihaknya terus memberikan pengarahan dan edukasi bagi para orangtua terkait vaksin Covid-19.

"Jadi kami edukasi lagi, pengarahan lagi, yang seperti itu saya minta nomor teleponnya, kami pangil nakes (tenaga kesehatan) untuk edukasi, Zoom langsung dengan orangtua, tapi masih saja (banyak yang termakan hoaks)," ujar Masduki.

Orangtua rentan terpapar hoaks

Diberitakan Kompas.com, 9 Mei 2021, Dosen Komunikasi Unika Atma Jaya Jakarta Andina Dwifatma mengatakan, orangtua, terutama pengguna aktif WhatsApp, cenderung lebih rentan terpapar hoaks ketimbang pengguna yang berusia lebih muda.

Andina mengatakan, kecenderungan itu ia temukan setelah membuat penelitian mengenai Generasi Z atau kelompok generasi yang lahir antara tahun 1997-2012.

"Generasi Z itu cenderung lebih aware sama hoaks, sama segala macam. Karena bagi mereka internet itu adalah bagian dari kehidupan. Sejak mereka lahir, mereka langsung kenal internet. Jadi enggak kaget," kata Andina.

Menurut Andina, dengan logika yang sama, orangtua memiliki kemungkinan atau kecenderungan untuk lebih mudah menyebarkan hoaks.

"Bahkan enggak peduli apa profesi dan tingkat pendidikan. Mereka menyebarkan hoaks, kadang karena ingin jadi yang pertama tahu di grupnya," ujar Andina.

"Kalau dugaan saya sih memang orang-orangtua ini kaget gitu ya. Karena kemudahan menyebarkan informasi lewat WhatsApp ini tidak pernah mereka alami sebelumnya," ujar dia.

Mengedukasi orangtua tentang hoaks

Menurut Andina, memberikan edukasi literasi digital atau pemahaman mengenai hoaks kepada orangtua adalah sesuatu yang bisa disebut "susah-susah gampang".

Ia mengaku beruntung karena dibesarkan dalam kultur keluarga yang demokratis. Sehingga orangtuanya tidak segan bertanya atau berdiskusi dengannya.

"Tapi kan enggak semua orangtua seperti itu. Jadi untuk memberikan edukasi kepada orangtua, yang pertama kita harus nemu dulu tone-nya, yang masuk untuk orangtua kita," kata Andina.

Tidak jarang, orangtua menolak diberi tahu oleh anaknya, karena mereka merasa lebih tua dan lebih tahu.

Menurut Andina, anak perlu menemukan terlebih dulu nada dasar yang tepat agar orangtua bisa nyaman dan menerima masukan.

Ia mengatakan, setelah orangtua nyaman dan bisa menerima masukan, maka bisa masuk ke tahap selanjutnya, yaitu mengenalkan mereka dengan pemeriksaan fakta.

"Banyak media yang sudah terlibat inisiatif cek fakta, itu juga bisa kita manfaatkan. Saya sendiri selalu pakai itu ya. Media-media yang sudah ditunjuk sebagai pemeriksa fakta itu link-nya saya bagikan ke orangtua saya, setiap kali mereka tanya," ujar dia.

Ajari orangtua memakai browser

Andina menyebutkan, pada tahap selanjutnya, orangtua dapat mulai dikenalkan dengan fungsi browser atau peramban internet yang ada di ponsel.

"Yang kedua, kita ajari orangtua kita itu pakai browser. Karena percaya atau enggak, enggak semua orangtua itu menggunakan browser di smartphone mereka," kata Andina.

Dari pengalamannya, Andina mengatakan, kebanyakan orangtua menganggap bahwa smartphone hanya berfungsi untuk berkomunikasi lewat WhatsApp dan juga mengakses media sosial Facebook.

"Mereka bahkan mungkin enggak aware dengan yang namanya browser di situ. Jadi cara kedua setelah ketemu tone-nya tadi, kita ajari orangtua kita cara pakai browser-nya," ujar Andina.

"Kita tunjuki searching itu dengan keyword apa. Kalau itu udah beres, kita bawa mereka untuk masuk ke situs-situs kayak Mafindo, kayak Cek Fakta, sehingga mereka bisa menjadi hoax buster di grup WhatsApp masing-masing," imbuhnya.

Andina mengungkapkan, cara edukasi literasi digital seperti itu sudah berhasil dia lakukan kepada ibunya. Dia mengaku, kini ibunya sudah bisa memverifikasi informasi yang diterima, dan bahkan menjadi hoax buster di grup yang diikuti.

https://www.kompas.com/tren/read/2022/01/05/074545565/ptm-sudah-dimulai-orangtua-jangan-mudah-percaya-hoaks-soal-vaksin

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke