Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengenang Marsinah, Simbol Perjuangan Kaum Buruh yang Tewas Dibunuh

KOMPAS.com - Hari ini 28 tahun yang lalu, tepatnya pada 8 Mei 1993, simbol perjuangan kaum buruh, Marsinah dibunuh setelah menghilang beberapa hari usai melakukan aksi bersama rekan buruhnya di PT Catur Putera Surya atau CPS.

Jasad Marsinah baru ditemukan pada 9 Mei 1993 di hutan Dusun Jegong, Nganjuk, Jawa Timur. Namun, hasil forensik menyatakan Marsinah sudah tewas sehari sebelumnya.

Saat ditemukan, jasad Marsinah dipenuhi luka dan hasil forensik menyatakan, sebelum tewas, ia sempat diperkosa yang sampai saat ini tidak diketahui pelakunya.

Berikut sosok Marsinah:

Dilansir dari Harian Kompas, 10 November 1993, Marsinah adalah seorang buruh wanita yang bekerja pada PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.

Perempuan yang sangat energik ini adalah sosok buruh yang progresif dan tidak ingin mengalah begitu saja kepada nasib walaupun lahir dari keluarga tak mampu.

Hal itu ditunjukkannya sejak kecil, ia sudah dididik oleh lingkungan, sehingga jiwanya matang dan penuh keberanian.

Salah satu sisi menarik dari Marsinah adalah dia merupakan seorang yang memiliki hobi membaca dan selalu mendapat juara di sekolahnya.

Akan tetapi, modal juara dan hobi membaca saja tak cukup untuk membuatnya meraih pendidikan hingga bangku perkuliahan.

Karena keterbatasan biaya, Marsinah hanya mampu menyelesaikan pendidikannya sampai tingkat SLTA.

Kendati demikian, menuntut ilmu terus ia lanjutkan melalui jalur nonformal dengan mengikuti kursus Bahasa Inggris dan komputer. Suatu hal yang jarang sekali ditemukan pada kebanyakan buruh wanita pabrik.

Sementara, di lingkungan perusahaan di tempatnya bekerja, Marsinah merupakan aktivis dalam organisasi buruh SPSI unit kerja PT CPS.

Saat itu, Marsinah belum lama aktif. Namun, dia adalah sosok buruh perempuan yang vokal dalam membela rekan-rekannya sesama buruh, yang kerap diperlakukan tidak adil oleh pihak pimpinan perusahaan.

Misalnya saja ketika unjuk rasa yang menuntut kenaikan upah dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250 pada 4 Mei 1993, Marsinah lah yang menjadi pemimpin orasi.

Begitu juga saat beberapa rekannya dikeluarkan dari perusahaan, Marsinah menjadi orang pertama yang melakukan pembelaan.

Pada 5 Mei 1993 malam, seakan menjadi titik puncak perjuangan Marsinah. Dia hilang karena diculik dan disiksa oleh sekelompok orang. 

Empat hari usai kejadian, tepatnya pada 9 Mei, jasad Marsinah baru ditemukan secara mengenaskan di sebuah gubuk di daerah Nganjuk, sekitar 200 km dari tempatnya bekerja.

Kematian Marsinah yang tidak wajar itu mendapat reaksi keras dari para aktivis dan masyarakat luas. Mereka menuntut pihak aparat keamanan untuk menyelidiki dan mengadili para pelakunya.

Sebagai rasa simpati dan solidaritas terhadap Marsinah, para aktivis pun membentuk Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KSUM).

Harian Kompas, 10 November 1993 mewartakan, Soeharto yang saat itu menjabat sebagai presiden meminta agar kasus terbunuhnya Marsinah diusut tuntas.

Ketika itu, Soeharto juga menekankan agar persoalannya tidak ditutup-tutupi agar tidak menjadi kabur.

"Masyarakat jangan berprasangka dulu sebab pemerintah akan menuntaskan kasus ini. Dan, biarkan petugas berwenang menangani kasus itu hingga selesai serta memutuskannya sesuai dengan hukum dan undang-undang yang berlaku, serta menghukum mereka yang bersalah," ujar Soeharto.

Menteri Ketenagakerjaan saat itu, Abdul Latif mengungkapkan, kasus kematian Marsinah tersebut telah menjadi isu yang besar.

Bahkan, ketika kunjungannya ke Australia, Menteri Luar Negeri Australia Gareth Evans mempertanyakan kasus Marsinah tersebut secara panjang lebar.

Latif mengharapkan agar masyarakat jangan berprasangka buruk terhadap masalah ketenagakerjaan.

Menurut dia, pemerintah akan bersungguh-sungguh menyelesaikan dan menuntaskan kasus Marsinah.

"Jadi saya tidak bisa komentar macam-macam. Biarlah pengadilan yang menentukan. Tapi kita lihat bahwa pemerintah akan menyelesaikan secara tuntas," tegasnya.

Harian Kompas, 28 Juni 2000 memberitakan, Marsinah lahir pada 10 April 1969. 

Dia muncul sebagai pahlawan di tengah hiruk-pikuk industrialisasi manufaktur dan represi penguasa di pertengahan dasawarsa 90-an.

Marsinah anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan, Marsini kakaknya dan Wijiati adiknya, lahir dari pasangan Astin dan Sumini di desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk.

Ibunya meninggal saat ia berusia tiga tahun, dan ayahnya kemudian menikah lagi dengan dengan Sarini, perempuan dari desa lain.

Sejak itulah Marsinah kecil diasuh neneknya, Paerah yang tinggal bersama paman dan bibinya, pasangan Suraji-Sini.

Tidak ada yang istimewa dari masa kecil Marsinah. Ia tipikal anak perempuan kalangan menengah pedesaan yang hidup subsisten, tidak terlampau miskin, walaupun tidak kaya.

Seperti mayoritas anak-anak perdesaan di Indonesia, ia sudah bekerja pada usia dini dan tampak lebih dewasa dari usianya.

Bekerja bagi mereka sangat lazim, termasuk kerja upahan di rumah maupun di pabrik.

Sikap kritis dan tanggung jawab

Sepulang sekolah, ia membantu neneknya menjual beli gabah dan jagung, dan menerima sekadar upah untuk mengangkut gabah dengan bersepeda dari sawah atau rumah orang yang gabahnya sudah dibeli.

Di kalangan teman-teman dan gurunya, di SD Negeri Nglundo, meskipun kepandaiannya dipandang biasa-biasa saja, tetapi kerajinan, minat baca, sikap kritis dan tanggung jawabnya menonjol.

Setiap tugas sekolah selalu berupaya diselesaikannya. Jika ada penuturan gurunya yang kurang jelas, tidak segan ia mengangkat tangan meminta penjelasan.

Setelah naik kelas VI, ia pindah ke SDN Karangsemi, dan kemudian melanjutkan ke SMP Negeri V Nganjuk pada tahun ajaran 1981/1982.

Di sinilah, sebagaimana harapan banyak anak Indonesia seusianya, cita-citanya terbentuk. Mencoba melanjutkan ke SMA negeri, namun gagal, dan akhirnya ke SMA Muhammadiyah dengan bantuan biaya seorang pamannya yang lain.

Di SLTA, minat bacanya semakin meluas. Di waktu senggang ia lebih banyak ke perpustakaan ketimbang bermain.

Tak mampu biayai kuliah

Lagi-lagi seperti banyak gadis desa sebayanya, cita-citanya untuk melanjutkan ke Fakultas Hukum kandas, karena keluarganya tak mampu membiayai kuliah.

Tidak ada pilihan lain kecuali mencari lapangan kerja di kota besar. Tahun 1989 ia ke Surabaya, menumpang di rumah kakaknya, Marsini, yang sudah berkeluarga.

Setelah berkali-kali melamar kerja ke berbagai perusahaan, akhirnya Marsinah diterima bekerja pertama kali di pabrik plastik SKW kawasan industri Rungkut.

Gajinya jauh dari cukup. Untuk memperoleh tambahan penghasilan ia nyambi jualan nasi bungkus di sekitar pabrik seharga Rp 150 per bungkus.

Sebelum akhirnya, tahun 1990, bekerja di PT Catur Putra Surya, Rungkut, ia sempat bekerja di sebuah perusahaan pengemasan barang.

Urbanisasi, berdagang untuk penghasilan tambahan, dan berpindah kerja dari satu pabrik ke pabrik lainnya untuk mendapatkan upah yang lebih layak, merupakan kisah klasik buruh perempuan di Jawa sejak awal dasawarsa 80-an.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/05/08/144500365/mengenang-marsinah-simbol-perjuangan-kaum-buruh-yang-tewas-dibunuh

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke