KOMPAS.com - Konfrontasi antara junta militer Myanmar, Tatmadaw, dengan massa pengunjuk rasa yang menentang kudeta, terus menimbulkan korban jiwa.
Sedikitnya 70 orang demonstran dilaporkan kehilangan nyawa dalam serangkaian aksi demonstrasi yang melanda Myanmar sejak kudeta yang dilancarkan Tatmadaw pada 1 Februari 2021.
Diberitakan Kompas.com, Jumat (12/3/2021) laporan tersebut disampaikan oleh Penyelidik Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Thomas Andrews.
Selain itu, lebih dari 2.000 orang telah ditahan secara tidak sah, sejak Tatmadaw menggulingkan kekuasaan sipil, yang direspons oleh rakyat Myanmar dengan aksi unjuk rasa besar-besaran.
Dalam laporannya kepada Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, Andrews mengatakan bahwa Tatmadaw telah melakukan pembunuhan, penyiksaan, dan penganiayaan terhadap para pengunjuk rasa.
"Myanmar sedang dikendalikan oleh rezim pembunuh nan ilegal. Ada banyak bukti tentang pasukan keamanan yang dengan kejam memukuli pengunjuk rasa, petugas medis, dan pengamat," kata Andrews.
Tatmadaw bantah gunakan kekerasan berlebihan
Melansir Channel News Asia, Jumat (12/3/2021), pihak militer Myanmar menolak berkomentar terkait jumlah korban jiwa dari pihak demonstran yang terus berjatuhan.
Meski demikian, Juru Bicara Tatmadaw, Zaw Min Tun pada Kamis (11/3/2021) menegaskan bahwa aparat hanya menggunakan kekerasan jika dibutuhkan.
Zaw Min Tun juga mengatakan bahwa militer hanya akan memegang kekuasaan dalam periode terbatas, sebelum nantinya pemungutan suara digelar.
Sebelumnya, kudeta militer Myanmar dipicu akibat ketidakpuasan Tatmadaw terhadap hasil Pemilu November 2020 yang dimenangkan secara mutlak oleh Partai National League for Democracy (NLD).
Tatmadaw menuding NLD, yang terafiliasi dengan pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, telah memanipulasi hasil pemilu.
Pada 1 Februari 2021, militer melancarkan kudeta dengan menahan Suu Kyi, serta sejumlah pejabat tinggi NLD.
Tatmadaw juga mengumumkan keadaan darurat yang berlaku hingga setahun ke depan.
Hambatan untuk menyelesaikan konflik Myanmar
Pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana mengatakan, komunitas internasional sebenarnya sudah memiliki keinginan untuk menghentikan konflik berdarah yang terjadi di Myamnyar.
Akan tetapi, menurutnya, keinginan untuk menghentikan konflik di Myanmar itu terkendala oleh aturan-aturan yang berlaku dalam konteks hukum internasional.
"Seperti ASEAN, terbentur pada Piagam ASEAN. Khususnya pasal 2 ayat 2, di mana negara ASEAN tidak boleh mencampuri urusan dalam negeri anggota ASEAN," kata Hikmahanto, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (12/3/2021).
Sementara itu, terkait penerjunan Dewan Keamanan PBB untuk menyelesaikan konflik di Myanmar, Hikmahanto mengatakan hal itu berbenturan dengan tugas dari Dewan Keamanan itu sendiri.
"Karena Dewan Keamanan PBB itu bertugas untuk hal-hal yang terkait kalau ada ancaman dunia, perdamaian dunia, dan konflik yang antar negara, kira-kira seperti itu," ujar Hikmahanto.
Perlu ada utusan khusus
Menilik perkembangan situasi di Myanmar, Hikmahanto mengusulkan, de-eskalasi konflik bisa dimulai dengan pengiriman special envoy atau utusan khusus, baik dari ASEAN maupun dari Indonesia.
"Special envoy yang tidak mempunyai kedudukan di pemerintahan. Tidak mempunyai jabatan," kata Hikmahanto.
Dia menjelaskan, special envoy yang diutus ke Myanmar tidak boleh memiliki jabatan di pemerintahan, karena hal itu bisa dinilai sebagai legitimasi terhadap pemerintahan junta milter Myanmar.
Sebelumnya, rencana kunjungan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi ke Myanmar harus dibatalkan, karena mendapat penolakan dari masyarakat Myanmar yang menentang junta militer.
Hikmahanto mengatakan, penolakan tersebut muncul karena kedatangan Menlu Retno Marsudi, dinilai oleh pihak yang kontra militer Myanmar sebagai bentuk legitimasi terhadap pemerintahan Tatmadaw.
Apa saja tugas special envoy?
Hikmahanto mengatakan, special envoy nantinya bertugas untuk menemui pihak-pihak yang terlibat sengketa di Myanmar, untuk mengetahui apa yang menjadi permasalahan dan apa yang diinginkan.
"Karena begini, kalau situasi di Myanmar sekarang ini, kan kemarin boleh dibilang ada proses demokratisasi. Jadi sudah merasakan demokrasi itu seperti apa," kata Hikmahanto.
"Sehingga harus disampaikan, kalau junta militer masuk dan tidak segera mundur, itu perlawanan dari rakyat, people power akan terus, dan itu kalau junta militer masih keukeuh bertahan itu korban akan bermunculan," imbuhnya.
Dengan adanya special envoy, maka kepentingan-kepentingan berbagai pihak yang bersengketa di Myanmar akan lebih jelas, sehingga pemetaan solusinya pun menjadi lebih gamblang.
"Kalau special envoy ini bisa mendapat informasi-informasi seperti itu, kan bisa dicarikan jalan keluar," imbuhnya.
https://www.kompas.com/tren/read/2021/03/12/194600565/menilik-konflik-di-myanmar-dan-solusi-untuk-meredakannya-