Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mencari Makna Hidup “Gegara” Corona

PAGEBLUK Corona memaksa saya mengkarantina diri di dalam rumah sehingga memperoleh banyak waktu merenung demi mencari makna hidup.

Agama saya Nasrani tidak menghalangi saya mempelajari ajaran-ajaran agama lain sesuai petunjuk Nabi Muhammad s.a.w. “Belajarlah sampai ke negeri Cina”.

Misalnya Buddhisme yang berasal dari India namun menjadi besar di Cina berkisah tentang perjuangan Siddharta Gautama mencari makna kehidupan.

Semula saya sulit memahami makna kisah manusia meninggalkan takhta kekuasaan, kekayaan harta benda dan gemerlap keduniawian lain-lainnya akibat melihat manusia tua, sakit dan mati.

Maka semula saya menganggap kisah tersebut sekadar hasil khayalan berlebihan belaka. Tidak masuk akal dangkal saya kenapa akibat hanya melihat orang tua, sakit dan mati lalu Siddharta Gautama harus meninggalkan segenap gemerlap keduniawian.

Apalagi masih ditambah tega melepas tanggung jawab sebagai suami terhadap istri serta ayah terhadap anak.

Kesadaran

Gegara virus Corona memaksa saya stay at home sehingga punya lebih banyak waktu untuk merenung maka sedikit demi sedikit saya mulai sedikit memahami makna kearifan yang terkandung di dalam kisah Siddharta Gautama yang kemudian menjadi Sang Buddha.

Pada masa pagebluk Corona saya tersadar bahwa setiap saat saya bisa terpapar Corona mau pun penyakit lainnya. Setiap detik saya bertambah usia untuk makin tua yang berarti makin mendekati masa akhir saya di dunia fana.

Sementara melalui teknologi telekomunikasi audio visual, saya menyaksikan mau pun membaca berita bagaimana setiap insan manusia tanpa kecuali di segenap pelosok planet bumi menjadi tua, jatuh sakit dan meninggalkan dunia fana ini.

Saya mulai dapat memahami gejolak sanubari Siddharta Gautama ketika melihat manusia tua, sakit dan mati. Gejolak perasaan yang menyadarkan bahwa pada hakikatnya manusia hanya makhluk hidup yang tidak berdaya melawan kodrat pasti menjadi tua, sakit dan mati.

Kodrati

Secara kodrati manusia menjadi tua dan dalam perjalanan hidup memang senantiasa terancam berbagai penyakit sebelum kemudian dijamin pasti mati.

Kepastian menjadi tua (apabila tidak mati pada saat dilahirkan), sakit dan mati merupakan kodrat mutlak yang tidak bisa dihindari apalagi dilawan oleh manusia.

Semasa hidup, manusia bisa menumpuk kekayaan harta benda semahakayaraya mungkin. Sayang, harta benda tidak bisa dibawa ke alam baka sambil tidak mampu melawan maut yang tidak bisa disuap.

Manusia bisa meraih kekuasaan sampai yang paling berkuasa pun tidak akan kuasa melawan kodrat menjadi tua, sakit kemudian mati.

Di alam baka, kekuasaan tiada guna. Kekuasaan duniawi dan kekayaan harta benda hanya ilusi dunia fana yang semuanya akan lenyap.

Donald Trump, Xi Yinping, Vladimir Putin, Angela Merkel, Boris Johnson, Jack Ma, Elon Musk, Bill Gates beserta segenap mahakayarayawan dan segenap kepala negara di marcapada ini juga pasti menjadi tua, sakit dan mati.

Mungkin manusia akan menemukan vaksin untuk mencegah dan obat untuk menyembuhkan penyakit akibat virus Corona namun mustahil manusia tidak makin tua, abadi sehat walafiat dan tidak bakal mati. Penyebab kematian bukan hanya virus Corona namun juga begitu banyak jenis virus lain-lainnya.

Sebenarnya penyakit yang mustahil disembuhkan adalah kehidupan sebab hanya mereka yang hidup yang bisa mati.

Kematian tidak hanya akibat penyakit sebab juga bisa akibat kecelakaan lalu lintas di jalan raya mau pun di dalam rumah seperti di dapur mau pun kamar mandi dan kamar tidur.

Mati juga bisa akibat gempa bumi, tsunami, kebakaran, tanah longsor, ledakan gunung berapi sampai digigit ular berbisa atau disengat kalajengking atau lebah atau tersedak ketimun atau kejatuhan durian runtuh dan lain-lainnya.

Juga bisa perang atau kekerasan yang dilakukan sesama manusia.

Pendek kata kreativitas penyebab kematian tak kenal batas keanekaragamannya. Bisa saja setelah usai menulis naskah ini, mendadak jantung saya berhenti berdetak maka langsung meninggalkan dunia fana ini.

Atau bisa saja ada yang tega memolisikan saya dengan atau tanpa alasan yang bisa dicari-cari sehingga kemudian saya yang sudah lansia dan sakit-sakitan ini mati sekarat di dalam penjara.

Ojo dumeh

Kisah Sidharta Gautama meninggalkan keduniawiaan yang gemerlap namun fana menyadarkan saya untuk senantiasa berupaya ojo dumeh.

Tidak ada alasan untuk takabur akibat saya hanya sesosok makhluk hidup yang sama sekali tidak berdaya melawan kodrat hukum alam untuk menjadi tua (apabila tidak mati muda), serta pasti pernah jatuh sakit (walau pun rajin minum jamu) dan akhirnya pasti meninggalkan dunia fana ini.

Pada hakikatnya hidup sekadar sejenak mampir ngombe alias singgah minum sebentar saja . Maka dalam menempuh perjalanan hidup yang hanya sejenak ini, sebaiknya saya senantiasa berupaya menunaikan Jihad Al-Nafs demi sesedikit mungkin berbuat buruk sambil berupaya sesebanyak mungkin berbuat baik terhadap sesama manusia.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/09/124518565/mencari-makna-hidup-gegara-corona

Terkini Lainnya

NASA Perbaiki Chip Pesawat Antariksa Voyager 1, Berjarak 24 Miliar Kilometer dari Bumi

NASA Perbaiki Chip Pesawat Antariksa Voyager 1, Berjarak 24 Miliar Kilometer dari Bumi

Tren
Profil Brigjen Aulia Dwi Nasrullah, Disebut-sebut Jenderal Bintang 1 Termuda, Usia 46 Tahun

Profil Brigjen Aulia Dwi Nasrullah, Disebut-sebut Jenderal Bintang 1 Termuda, Usia 46 Tahun

Tren
Jokowi Teken UU DKJ, Kapan Status Jakarta sebagai Ibu Kota Berakhir?

Jokowi Teken UU DKJ, Kapan Status Jakarta sebagai Ibu Kota Berakhir?

Tren
Ini Daftar Gaji PPS, PPK, KPPS, dan Pantarlih Pilkada 2024

Ini Daftar Gaji PPS, PPK, KPPS, dan Pantarlih Pilkada 2024

Tren
Pengakuan Ibu yang Paksa Minta Sedekah, 14 Tahun di Jalanan dan Punya 5 Anak

Pengakuan Ibu yang Paksa Minta Sedekah, 14 Tahun di Jalanan dan Punya 5 Anak

Tren
Jadi Tersangka Korupsi, Ini Alasan Pendiri Sriwijaya Air Belum Ditahan

Jadi Tersangka Korupsi, Ini Alasan Pendiri Sriwijaya Air Belum Ditahan

Tren
Daftar Lokasi Nobar Indonesia Vs Uzbekistan Piala Asia U23 2024

Daftar Lokasi Nobar Indonesia Vs Uzbekistan Piala Asia U23 2024

Tren
Bolehkah Penderita Diabetes Minum Air Tebu? Ini Kata Ahli Gizi UGM

Bolehkah Penderita Diabetes Minum Air Tebu? Ini Kata Ahli Gizi UGM

Tren
Bandara di Jepang Catat Nol Kasus Kehilangan Bagasi Selama 30 Tahun, Terbaik di Dunia

Bandara di Jepang Catat Nol Kasus Kehilangan Bagasi Selama 30 Tahun, Terbaik di Dunia

Tren
La Nina Berpotensi Tingkatkan Curah Hujan di Indonesia, Kapan Terjadi?

La Nina Berpotensi Tingkatkan Curah Hujan di Indonesia, Kapan Terjadi?

Tren
Kasus yang Bikin Bea Cukai Disorot: Sepatu Impor hingga Alat Bantu SLB

Kasus yang Bikin Bea Cukai Disorot: Sepatu Impor hingga Alat Bantu SLB

Tren
Biaya Kuliah Universitas Negeri Malang 2024/2025 Program Sarjana

Biaya Kuliah Universitas Negeri Malang 2024/2025 Program Sarjana

Tren
Hari Pendidikan Nasional 2024: Tema, Logo, dan Panduan Upacara

Hari Pendidikan Nasional 2024: Tema, Logo, dan Panduan Upacara

Tren
Beredar Kabar Tagihan UKT PGSD UNS Capai Rp 44 Juta, Ini Penjelasan Kampus

Beredar Kabar Tagihan UKT PGSD UNS Capai Rp 44 Juta, Ini Penjelasan Kampus

Tren
Semifinal Indonesia Vs Uzbekistan Piala Asia U23 2024 Hari Ini, Pukul Berapa?

Semifinal Indonesia Vs Uzbekistan Piala Asia U23 2024 Hari Ini, Pukul Berapa?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke