Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

INDEF soal UU Cipta Kerja: Indonesia Sebenarnya Turun Kelas

KOMPAS.com - Sejak awal pembahasan hingga disahkan pada Senin (5/10/2020) oleh DPR dalam rapat paripurna, UU Cipta Kerja menerima banyak penolakan dari berbagai elemen masyarakat.

Mulai pekerja dan buruh, pencinta lingkungan, akademisi, bahkan pihak investor global.

Masing-masing mengemukakan alasannya tidak sependapat jika omnibus law ini diterapkan. Mayoritas menyuarakan UU Cipta Kerja hanya mendatangkan keuntungan bagi para pengusaha, namun tidak masyarakat pekerja.

Selain itu, kemudahan investasi asing yang dijanjikan Indonesia dinilai berpotensi merusak lingkungan hidup, karena peizinan pendirian usaha yang dipermudah.

Sebelumnya, diberitakan Kompas.com pada 15 September 2020, Deputi Promosi Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Ikmal Lukman mengungkapkan selama ini investor asing lebih tertarik menanamkan modalnya di negara Asia Tenggara lain, misalnya Vietnam, Thailand, dan Filipina.

Alasannya adalah di sana upah buruh, pajak, dan harga lahan lebih murah dibandingkan dengan Indonesia.

"Dan paling kurang menarik lagi adalah tingkat kenaikan rata-rata upah (buruh di Indonesia) per tahunnya. Indonesia kenaikan upah rata-rata 8,7 persen dan ada tarif-tarif lain yang kita belum bisa bersaing dengan negara-negara di ASEAN lainnya," kata Lukman.

Sementara itu, Kompas.com pada Senin (5/10/2020) memberitakan, Menteri Koordinator bidang Ekonomi Airlangga Hartarto mengatakan UU Cipta Kerja ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan yang menghambat peningkatan investasi dan pembukaan lapangan kerja di Indonesia.

Ini dilakukan melalui penyederhanaan sistem birokrasi dan perizinan, memberi kemudahan bagi pelaku usaha terutama UMKM, ekosistem investasi yang kondusif, hingga penciptaan lapangan kerja.

Lalu, apakah UU Cipta Kerja menarik minat para investor ke Indonesia?

Peneliti sekaligus ekonom dari Institut for Development of Economics and Financial (INDEF), Bhima Yudistira, menyebut pembuatan omnibus law UU Cipta Kerja sudah salah sejak awal.

Khususnya, kata dia, pada bagian analisis upah dan produktivitas tenaga kerja.

"Masalah upah itu tidak bisa disamakan dan dipukul rata, bergantung pada jenis pekerjaan dan industrinya," kata Bhima, Rabu (7/10/2020).

"Misalnya upah tenaga kerja di industri otomotif yang butuh skill tinggi, wajar bila upahnya mahal, sementara untuk yang industri alas kaki/sepatu upahnya lebih rendah," ujarnya mencontohkan.

Menurutnya, semestinya hal tersebut tidak dilakukan, kecuali pemerintah memang ingin menjadikan Indonesia bersaing dengan negara-negara seperti India, Bangladesh, dan Ethiopia yang memiliki upah buruh yang rendah.

Di negara-negara tersebut, menurutnya kuantitas pekerja yang banyak lebih diutamakan daripada besarnya upah yang diterima.

"Kalau model investasi yang kualitasnya rendah dikejar maka wajar solusinya adalah omnibus law. Sebaliknya jika ingin menarik investasi yang hitech dan high skill labor maka pemerintah seharusnya tidak bermain dalam perubahan regulasi upah dan tunjangan pekerja, tapi benahi soal pendidikan, keterampilan, dan pemberian hak pekerja yang lebih baik," ujar Bhima.

Mengapa demikian?

Bhima menyebut perusahaan internasional dengan target konsumen negara maju menginginkan model investasi yang memenuhi standar lingkungan, menghargai hak pekerja, dan tidak terlibat dalam praktik korupsi.

Keinginan itu tentu belum bisa dipenuhi UU Cipta Kerja yang banyak menumpukkan kekuasaan pada pemerintah pusat, sehingga memperbesar celah terjadinya korupsi.

"Tapi ini kan anomali, justru (dengan) omnibus law (Indonesia) mundur ke belakang. Alhasil Indonesia sebenarnya turun kelas, bukan bersaing dengan Vietnam, Thailand, tapi negara-negara miskin dalam berebut investasi yang kualitasnya rendah," ucapnya.

Walau tidak menutup kemungkinan, kata dia, ada juga sejumlah investor besar yang tidak menjadikan isu lingkungan dan kesejahteraan pekerja sebagai fokus mereka.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/07/183000165/indef-soal-uu-cipta-kerja--indonesia-sebenarnya-turun-kelas

Terkini Lainnya

Bisakah Vitamin D Menurunkan Berat Badan? Ini Penjelasannya

Bisakah Vitamin D Menurunkan Berat Badan? Ini Penjelasannya

Tren
Link Live Streaming dan Jadwal Pertandingan Perempat Final Thomas & Uber Cup 2024 Hari Ini

Link Live Streaming dan Jadwal Pertandingan Perempat Final Thomas & Uber Cup 2024 Hari Ini

Tren
Tumor Disebut Bisa Menumbuhkan Gigi dan Rambut Sendiri, Benarkah?

Tumor Disebut Bisa Menumbuhkan Gigi dan Rambut Sendiri, Benarkah?

Tren
7 Fakta Pembunuhan Wanita dalam Koper di Cikarang, Pelaku Ditangkap Jelang Resepsi 5 Mei

7 Fakta Pembunuhan Wanita dalam Koper di Cikarang, Pelaku Ditangkap Jelang Resepsi 5 Mei

Tren
BMKG: Wilayah Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang pada 3-4 Mei 2024

BMKG: Wilayah Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang pada 3-4 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] Suhu Panas Menerjang Indonesia di Awal Mei 2024 | Jadwal Laga Indonesia Vs Irak di Piala Asia U23

[POPULER TREN] Suhu Panas Menerjang Indonesia di Awal Mei 2024 | Jadwal Laga Indonesia Vs Irak di Piala Asia U23

Tren
Kemendikbud: Penerima KIP Kuliah Bergaya Hidup Mewah Diminta Mundur

Kemendikbud: Penerima KIP Kuliah Bergaya Hidup Mewah Diminta Mundur

Tren
Covid-19 Varian FLiRT Terdeteksi di AS, Memicu Peringatan Lonjakan Kasus di Musim Panas

Covid-19 Varian FLiRT Terdeteksi di AS, Memicu Peringatan Lonjakan Kasus di Musim Panas

Tren
Machu Picchu dan Borobudur

Machu Picchu dan Borobudur

Tren
6 Kebiasaan Sederhana yang Membantu Meningkatkan Angka Harapan Hidup

6 Kebiasaan Sederhana yang Membantu Meningkatkan Angka Harapan Hidup

Tren
Bolehkah Memakai 'Pimple Patch' Lebih dari Sekali?

Bolehkah Memakai "Pimple Patch" Lebih dari Sekali?

Tren
Polisi dan Istri Brigadir RAT Beda Keterangan soal Keberadaan Korban Sebelum Tewas

Polisi dan Istri Brigadir RAT Beda Keterangan soal Keberadaan Korban Sebelum Tewas

Tren
Viral, Video Wisatawan di Curug Ciburial Bogor Kena Pungli, Pelaku Sudah Diamankan

Viral, Video Wisatawan di Curug Ciburial Bogor Kena Pungli, Pelaku Sudah Diamankan

Tren
Alasan Kapolri Buka Peluang Pengungkapan Kasus Meninggalnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

Alasan Kapolri Buka Peluang Pengungkapan Kasus Meninggalnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

Tren
Kasus KIP Kuliah, Undip: Mahasiswi Rela Mundur untuk Digantikan yang Lebih Butuh

Kasus KIP Kuliah, Undip: Mahasiswi Rela Mundur untuk Digantikan yang Lebih Butuh

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke