Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Dilema PSK di Tengah Pandemi Corona, antara Takut Tertular dan Kehilangan Pelanggan

KOMPAS.com - Pekerja Seks Komersial (PSK) menghadapi risiko kesehatan yang besar dan rentan mengalami kekerasan selama pandemi corona berlangsung. Hal ini diperparah dengan menurunnya pendapatan mereka.

Melansir South China Morning Post , Sabtu (18/4/2020) Cici, seorang ibu dari dua anak perempuan, telah menjadi PSK di Hong Kong selama kurang lebih empat tahun.

Namun, dirinya kini merasa kesulitan untuk bertahan hidup di salah satu kota dengan biaya hidup termahal di dunia itu.

"Saya tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya," kata Cici yang sekarang berusia 30-an tahun.

Sejak kasus infeksi virus corona ditemukan di Hong Kong pada bulan Januari, masyarakat telah diminta menerapkan social distancing.

Sedikitnya orang yang keluar dari rumah telah memengaruhi pendapatan harian Cici.

"Sebelumnya, saya bisa mendapat 1.000 dollar Hong Kong tiap hari, sekarang saya bahkan kesulitan untuk mendapat satu pelanggan saja," kata Cici.

Rasa cemas menghantui Cici setiap hari. Tidak hanya karena faktor keuangan tapi juga karena dia sadar bahwa dia terancam terpapar infeksi virus corona.

"Setiap pelanggan yang datang bisa saja terjangkit virus dan saya selalu merasa takut. Saya takut jika saya menulari anak-anak saya," kata Cici yang tinggal di sebuah rumah bordil di Kowloon.

PSK seperti Cici tidak hanya terancam oleh virus corona tetapi mereka juga kesulitan untuk mengakses klinik dan lembaga swadaya yang mendampingi mereka karena kebijakan karantina dan social distancing yang tengah diberlakukan. 

Hal ini menyebabkan mereka menjadi lebih rentan terhadap penyakit seksual menular dan ancaman eksploitasi.

Beberapa PSK mengaku bahwa pelanggan mereka menjadi lebih kasar dan ada pula PSK yang harus menggunakan cara-cara berisiko untuk mendapat pelanggan.

Bahkan, dalam beberapa kasus ekstrim yang terjadi di India, PSK terpaksa harus berutang uang hanya untuk membeli makanan.

Mencoba menjaga kesehatan

Sejak wabah corona menyebar, Cici telah menyesuaikan caranya bekerja dan berusaha menjaga kesehatan.

"Saya akan mengecek suhu tubuh pelanggan terlebih dahulu, sebelum memasuki kamar," kata dia.

Selain itu, Cici juga meminta mereka mengenakan masker dan mencuci tangannya. "Jika mereka menolak mengenakan masker, maka saya terpaksa meminta mereka pergi," kata Cici.

Perempuan yang pindah dari China daratan ke Hong Kong tujuh tahun lalu ini, selalu membersihkan kamarnya sebelum dan sesudah melayani pelanggan.

Ketakutannya akan Covid-19 sama besarnya dengan ketakutannya akan kehilangan pekerjaan.

"Saya tidak ingin pergi ke pusat karantina, karena saya akan kehilangan pendapatan saya lebih banyak lagi," kata perempuan asli Sichuan ini.

Terlepas dari semua langkah pencegahan yang telah dia lakukan, Cici sadar bahwa dia mempertaruhkan nyawanya sendiri saat ini. "Ini memang berbahaya," keluh Cici.

Tidak ada tempat mengadu

Juru bicara Zi Teng, kelompok pendampingan PSK Hongkong, menyebut bahwa mayoritas PSK mengalami penurunan pendapatan sejak tahun lalu, ketika demonstrasi anti-pemerintahan pertama kali digelar di bulan Juni.

Pandemi virus corona kian memperburuk keadaan, karena pendapatan semakin menurun dan sulitnya mendapatkan alat pelindung diri, seperti masker dan hand sanitizer.

Beberapa dari mereka juga menerima tindak kekerasan dari pelanggan. Selain itu, banyak pelanggan yang menolak membayar dan bahkan merampok mereka.

"Pelanggan-pelanggan ini juga mengenakan masker sehingga sulit untuk mengidentifikasi mereka," kata Ann Lee, seorang pendamping PSK. Ann juga menyebut bahwa respon polisi terhadap kejadian ini sangat lamban.

Zi Teng memperkirakan ada lebih dari 100 ribu PSK di Hong Kong. Sebanyak 90 persen dari mereka berasal dari China daratan dan sisanya kebanyakan datang dari negara-negara Asia Tenggara dan Eropa Timur.

Keterbatasan sumber daya

Karena keterbatasan sumber daya untuk melengkapi staf dan relawannya dengan APD, Zi Teng telah mengurangi layanan yang bersifat tatap muka.

Layanan tersebut seperti penyuluhan dan pembagian kondom untuk PSK. Workshop terkait keselamatan kerja juga dibatalkan, serta bantuan tes kesehatan gratis juga sudah tidak diberikan lagi.

"Klinik-klinik pemerintah juga banyak yang ditutup sehingga mereka menghadapi risiko penyakit seksual menular," kata Ann.

Ann juga menyebut bahwa para wanita ini tidak memiliki tempat untuk mengadu di Hong Kong.

"PSK biasanya diabaikan oleh pemerintah. Seolah mereka tidak menyadari keberadaan PSK di masyarakat," kata Ann.

Masalah serupa di Asia dan seluruh dunia

Para PSK di Asia dan belahan dunia lainnya juga bergelut dengan permasalahan yang serupa.

Beberapa minggu belakangan ini, Thailand telah menutup pintu masuk bagi turis asing, melarang aktivitas perkumpulan, membatasi jam malam dan menutup hampir semua toko.

Penutupan klab malam, panti pijat, dan wilayah red-light di seluruh negeri telah menyebabkan sekitar 300 ribu PSK kehilangan pekerjaannya.

Beberapa dari mereka memang telah kembali ke kampung halamannya masing-masing. Namun, mereka yang tidak kembali tidak punya pilihan lain selain menjajakan dirinya di jalan, dan menghadapi risiko lebih besar dari pandemi virus corona.

Salah satu kelompok hak asasi manusia telah mendesak pemerintah untuk menyediakan bantuan bagi para PSK yang kehilangan pekerjaannya.

Dalam pernyataan terpisah di bulan ini, Global Network of Sex Work Projects dan Program PBB untuk HIV/AIDS telah mengemukakan diskriminasi yang dialami oleh PSK.

Mereka mendesak setiap negara untuk memberikan akses layanan kesehatan, perlindungan sosial, dan skema bantuan keuangan.

Terlilit Utang

Di India, situasi telah menjadi sangat sulit hingga banyak PSK bahkan tidak bisa memperoleh makanan.

Negara, yang berdasar statistik resmi, memiliki lebih dari 2 juta orang PSK telah menerapkan lockdown tingkat nasional selama lebih dari 3 minggu.

Lockdown telah diperpanjang hingga setidaknya tanggal 3 Mei 2020, namun pemerintah juga menyampaikan bahwa beberapa pembatasan akan dilonggarkan, terutama di daerah yang jauh dari pusat infeksi.

Meski demikian, banyak PSK yang telanjur merasakan dampak parah dari lockdown yang sudah diberlakukan.

Terjadinya panic buying juga semakin memperburuk keadaan, karena bahan-bahan makanan telah habis diborong oleh orang-orang kaya, akibatnya harga-harga sembako meroket hebat.

Kebanyakan PSK juga tidak memiliki dokumen-dokumen resmi yang dibutuhkan untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah. Mereka akhirnya terpaksa berutang pada rentenir untuk membeli makanan.

Berharap pandemi segera berakhir

Di bawah kebijakan social distancing yang diterapkan di Hong Kong, tempat-tempat hiburan seperti bar, karaoke dan panti pijat diperkirakan akan tetap ditutup hingga bulan depan.

Sementara itu, Cici tidak kuasa berbuat apa-apa ketika permintaan akan jasanya semakin menurun dan tabungannya terkuras dengan cepat karena tagihan yang menumpuk.

"Saya harus membayar sewa, air, listrik dan pengeluaran lainnya. Saya juga masih harus merawat anak-anak saya dan membelikan mereka masker serta hand sanitizer. Harga masker untuk anak lebih mahal," ungkap Cici. 

"Saya memang berpikir untuk berhenti bekerja untuk beberapa waktu jika kondisinya tidak kunjung membaik," kata Cici. Namun, untuk saat ini dia tidak punya rencana cadangan.

"Saya hanya bisa berharap bahwa pandemi ini secepatnya berakhir," kata dia.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/20/190300365/dilema-psk-di-tengah-pandemi-corona-antara-takut-tertular-dan-kehilangan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke