Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Agama dan Virus Corona

PERSEBARAN Virus Corona tak terbendung. Fakta ini dapat dilihat hingga tulisan ini dibuat.

Virus ini telah menyebar di 198 negara. Di China, tempat sebaran virus berasal, kasus infeksi sudah berhenti penambahannya.

Di benua biru, Eropa, dan di Amerika Serikat justru mengalami tren kenaikan yang cukup mengkhawatirkan dengan jumlah kematian yang tidak sedikit. Perkembangan pandemi global ini bisa dilihat di situs worldometer. 

Situasi ini semakin membuat kepanikan di setiap negara. Pun dengan situasi di negara kita, tren kenaikan pasien Covid-19 mengalami pertambahan berikut dengan kasus kematian. Sementara yang berhasil pulih memang ada, namun tidak signifikan.

Perkembangan kasus Covid-19 bisa dilihat di covid19.go.id

Situasi panik dan khawatir memerlukan katarsis. Agama adalah salah satu medium yang dapat dijadikan sandaran bagi setiap individu untuk mengeliminasi rasa kepanikan dan kekhawatiran yang berlebih.

Di dalam Islam misalnya, telah termaktub bahwa manusia itu makhluk yang sangat rentan merasakan kepanikan dan ketakutan [QS. An-Nahl: 112], terhadap kelaparan, bencana alam, maupun kehilangan sesuatu. Hal inilah yang dapat disaksikan dengan merebaknya pandemik Covid-19 belakangan ini.

Orang belanja kebutuhan makanan dan alat pelindung diri (APD) dengan cara menumpuk dengan abai pada kebutuhan orang lain. Sebuah tindakan yang tidak seyogianya dipraktikkan oleh orang yang mengaku beriman kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Charles Kimball, seorang teoritikus agama-agama dunia berpendapat bahwa agama satu sisi dapat menjadi perekat sesama anak manusia namun pada saat bersamaan agama dapat menjadi bencana (evil) bagi umat manusia.

Menjadi perekat solidaritas pada saat terjadi musibah ataupun tempat mengadu, berkeluh kesah, tiap individu pada Sang Pencipta bagi yang meyakininya.

Agama dapat menjadi bencana tatkala ia dijadikan alat kekuasaan sekaligus manipulasi politik oleh elite kepada konstituennya.

Sejarah agama-agama dunia dari sejak kemunculannya hingga hari ini telah menunjukkan sisi gelap agama, selain sisi tingginya peradaban manusia dibangun juga karena spirit agama-agama.

Beragama menggunakan akal budi

Jumlah penduduk dunia saat ini berdasarkan populasi dunia pada sensus 2010 mencapai 6,9 miliar; dengan komposisi Kristiani 31 persen (Katolik dan Kristen), Islam 23 persen, tidak berafiliasi ke agama apapun 16 persen, Hindu sejumlah 15 persen, Buddha 7 persen, penganut agama lokal 6 persen, agama-agama lain (Bahai, Tao, Jain, Shinto, Sikh, Zoroaster dll, 1 persen, dan Yahudi 0,2 persen.

Sementara di Indonesia, jumlah penduduk saat ini telah mencapai 273 jutaan jiwa. Komposisinya: penganut Islam 87,18 persen, Kristen 6,96 persen, Katolik 2,91 persen, Hindu 1,69 persen, Buddha 0,72 persen, Khong Hu Cu 0,05 persen, lainnya 0,13 persen.

Berdasarkan data ini maka 99 persen menganut agama ataupun keyakinannya masing-masing.
Nilai-nilai dan spirit agama sangat kental mewarnai perilaku kehidupan sehari-hari sejak di dalam rumah sendiri, tempat kerja, maupun dalam bermasyarakat dan berbangsa.

Pertanyaannya yakni bagaimana spirit agama tersebut justru dapat membangkitkan energi untuk membangun peradaban Indonesia kepada kemajuan bangsa dan negara?

Kemajuan Indonesia sangat mungkin terwujud dengan persatuan masyarakatnya, saling mendukung antara kelompok, dikeluarkan regulasi yang dapat mengayomi seluruh entitas masyarakat, tidak terjadi diskriminasi dan intoleransi berdasarkan agama, ras, etnis misalnya baik yang dilakukan elite politik maupun oleh masyarakatnya.

Amatlah elok jika masyarakat juga mendukung seluruh program pemerintah selama dalam koridor yang tepat dan bertujuan menyejahterakan rakyat.

Hemat penulis, saatnya menggerakkan energi agama untuk mengarahkan masyarakatnya pada kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.

Dunia digital yang sedang merangsek pada setiap sendi kehidupan manusia saat ini patut menjadi perhatian masyarakat agama.

Sudahkah masyarakat agama di Indonesia memaksimalkan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi untuk membangun peradaban bangsa?

Ini menjadi pekerjaan rumah bersama di tengah pandemik Covid-19.

Setiap hari data pasien Covid-19 terus bertambah. Ada yang masih sembuh, masih dalam perawatan, juga meninggal. Kita bisa menyaksikan setiap perkembangan ini di media digital.

Di sini lah peran agama dapat dimaksimalkan. Caranya adalah mengimbau penganutnya masing-masing agar taat pada para ahli ilmu kesehatan, ahli keamanan publik, maupun pada otoritas yang berwenang menjaga keamanan, kenyamanan dan keselamatan warganya.

Para kiai, pastor, pendeta, biku, sesepuh, alim-ulama memiliki andil yang sangat besar untuk mendidik dan memberikan teladan bagaimana menjadi warga negara yang taat hukum demi kemaslahatan bersama.

Melindungi satu nyawa itu seperti menyelamatkan seluruh kehidupan manusia. Ini tidak didapatkan secara tiba-tiba jika model beragamanya tidak dicontohkan oleh para petinggi agamanya.

Beragama yang melek dunia digital, berikut melek ilmu kesehatan khususnya dalam masa pandemi Covid-19 itu sangat diperlukan saat ini dan di masa mendatang manakala tantangan makin banyak dan makin luas.

Ormas keagamaan dan pendidikan publik

Sekitar seminggu yang lalu (19-20/03/2020), PP Muhammadiyah dan PB Nahdlatul Ulama misalnya menyerukan jemaahnya masing-masing untuk melakukan aktivitas pengajian, shalat Jumat dengan diganti shalat dhuhur di rumahnya masing-masing.

Pun keputusan yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia memiliki semangat yang sama.
Apalagi bagi jemaah yang sudah memiliki tanda-tanda terkena Covid-19 atau sudah masuk kategori Orang Dalam Pengawasan (ODP) untuk sementara ini tidak perlu pergi ke masjid.

Keputusan yang sangat cerdas dari dua ormas Islam terbesar di republik ini. Kedua ormas ini sudah lahir sebelum Indonesia merdeka.

Hal yang tidak jauh beda pun dilakukan oleh pemimpin tertinggi umat Katolik. Paus Fransiskus mengimbau umat Katolik untuk beribadah di rumahnya masing-masing tanpa harus pergi ke Gereja.

Hal di atas sepantasnya disebarluaskan ke seantero negeri mengingat jumlah Muslim yang mencapai 87 persen dari jumlah penduduk. Harapannya dapat mencegah meluasnya virus Covid-19 akibat perjumpaan-perjumpaan masyarakat di luar rumahnya yang tidak mendesak secara keperluan.

Beribadah di rumah dengan alasan lebih mendekatkan diri pada Allah SWT adalah argumentasi yang sekadar mendasarkan pada indoktrinasi agama namun jauh dari semangat penyelamatan penganutnya. Menyelamatkan umat semestinya dikedepankan di tengah situasi yang mengkhawatirkan dan tidak menentu.

Dalam Ushul Fiqh terdapat panduan hukum yang intinya: “Mencegah kerusakan jauh lebih diutamakan dari pada mendatangkan kebaikan (kemaslahatan)”.

Tentu mencegah kematian atau meluasnya wabah Covid-19 lebih baik dilakukan daripada menuju tempat ibadah namun aspek kemudaratannya jauh lebih besar.

Dampak dari kebijakan elite ormas keagamaan di atas pun semakin diikuti oleh jemaahnya dengan makin produktifnya publik agama melakukan penyemprotan desinfektan secara mandiri di tiap-tiap rumah ibadahnya.

Inilah cara beragama yang membebaskan pemeluknya secara akal budi sesuai dengan semangat kemajuan teknologi komunikasi dan informasi maupun ilmu pengetahuan lainnya.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/26/132410565/agama-dan-virus-corona

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke