Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Refleksi Gagalnya Kaderisasi Politik...

KOMPAS.com - Majunya sejumlah anak pejabat di sejumlah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) hingga wajah parlemen yang diisi muka-muka lama dinilai sebagai bentuk gagalnya kaderisasi politik.

Dosen Ilmu Politik Universitas Diponegoro (Undip) Wijayanto mengatakan refleksi gagalnya kaderisasi politik tersebut salah satunya muncul karena mahalnya biaya politik.

Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Dr. Ward Berenschot dan ED Aspinall (2019).

"Pemilu kita makin mahal karena money politic makin masiv. Pada gilirannya nanti akan melahirkan praktik korupsi yang makin masif," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Rabu (9/10/2019).

Saat disinggung terkait putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang terjun ke politik dan masuk menjadi anggota PDI-P, imbuhnya jelas menggambarkan adanya refleksi gagalnya kaderisasi politik.

"Karena anak muda yang masuk politik tidak hanya kerabat elit namun juga sedikit sekali jumlahnya," katanya lagi.

Widiyanto memaparkan jumlah caleg muda berusia 40 tahun ke bawah, saat ini masih minim hanya 72 orang dari 575 anggota DPR, atau 12, 5 persen tergolong muda.

Prosentase tersebut turun dibandingkan dengan periode sebelumnya 2014-2019 yang mencapai 92 orang, dari 560 anggota DPR atau 16,4 persen.

"Selain itu, dari 72 caleg muda yang terpilih sebanyak 50 persen diduga merupakan bagian dari politik kekerabatan. Sebanyak 35 caleg dari 72 caleg muda itu diduga mempunyai relasi kekerabatan dengan elite politik di daerah ataupun nasional," ujar dia.

Modal jaringan luas

Lantaran faktor mahalnya biaya politik, maka anak-anak muda yang ingin terjun ke politik dengan hanya berbekal idealisme semata pasti akan terhempas.

Hal ini berbeda dengan anak-anak pejabat. Pertama mereka sudah mempunyai modal besar dan jika tidak mempunyai, maka yang bersangkutan mempunyai modal jaringan luas dari elit kerabatnya tersebut.

"Harus saya katakan juga, masyarakat kita masih memiliki literasi politik yang rendah. Mereka misalnya biasa saja menerima uang dalam pemilu, bahkan malah meminta. Padahal itu punya dampak 5 tahun ke depan," paparnya.

Sebelumnya, hasil survei Unisri Solo pada Juli 2019 menempatkan nama Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep dalam bursa calon wali kota Solo.

Popularitas Gibran dan adiknya, Kaesang disebut menyamai Wakil Wali Kota Solo Achmad Purnomo.

Bahkan popularitas kedua anak Presiden Joko Widodo mengalahkan popularitas orang ketiga di Kota Solo yaitu Ketua DPRD Teguh Prakosa. Popularitas Kaesang 86 persen, di atas Teguh yang bertengger di 49 persen.

Berawal dari survei tersebut, Gibran pun akhirnya mendaftar kader PDI-P.

Ia mendatangi Kantor DPC PDI-P Kota Surakarta, Senin (23/09/2019). Selain untuk menyerahkan berkas kartu tanda anggota (KTA), ia juga menanyakan pendaftaran calon wali kota dari PDI-P.

Melansir dari pemberitaan Kompas.com (24/09/2019), Gibran berencana mencalonkan diri sebagai calon Wali Kota Solo Tahun 2020.

Ia mengatakan akan mengikuti arahan dan keputusan partai atas pencalonan dirinya maju dalam bursa Pilkada Solo 2020 dari PDI-P.

Keputusan ini cukup mengejutkan karena dulu Gibran cenderung lebih senang berkarir di bidang bisnis.

https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/09/150222765/refleksi-gagalnya-kaderisasi-politik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke