Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Buka-bukaan soal Buzzer (3): Akun-akun Palsu yang Menggiring Opini Publik

Artikel ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya. Sebelum membaca, silakan baca dulu tulisan pertama dan kedua.
_____________________________________________

KOMPAS.com - Fenomena buzzer bukan baru-baru ini saja mewarnai perpolitikan Indonesia. Berdasarkan laporan CIPG, istilah buzzer mulai diakui pada Pilkada DKI 2012.

Rinaldi menyebut Jokowi Ahok Social Media Volunteer (Jasmev) yang pertama memulainya.

"Saat itu kubu Jokowi-Ahok sudah aware dan lebih siap dengan strategi kampanye di media sosial. Beberapa nama juga sudah mulai muncul di media sosial. Itu juga yang jadi keunggulan mereka dibandingkan dengan kubu lawan," kata Rinaldi.

Buzzer biasanya memiliki jaringan luas atau punya akses ke informasi kunci, mampu menciptakan konten sesuai konteks, cakap menggunakan media sosial, persuasif, dan digerakkan motif tertentu.

Berdasarkan wawancara dengan dua pihak agensi dan lima influencer  juga buzzer, Rinaldi menyebut, perekrutan buzzer untuk politik ini berbeda dengan influencer untuk pemasaran produk.

Perekrutan influencer untuk brand biasanya dilakukan jelas dan akuntabel. Pekerjaan dilakukan atas dasar kontrak, diberikan arahan, hingga kesepakatan rate dan pelunasan.

Beberapa influencer produk pun biasanya mengumumkan jika kontennya adalah promosi atau disponsori pihak tertentu.

"Hal tersebut tidak berlaku untuk buzzer politik. Sering kali tidak ada perjanjian hitam di atas putih. Perekrutan bisa dilakukan dengan mengandalkan relasi dan jaringan yang ada," kata Rinaldi.

Contohnya dengan merekrut mahasiswa tingkat akhir di perguruan tinggi negeri dan swasta. Untuk buzzer dengan motif sukarela, mereka biasanya berkumpul dalam sebuah grup besar seperti di Facebook dan Telegram.

Mereka kemudian diseleksi secara bertahap untuk melihat militansi dan loyalitasnya. Setelah terkumpul yang sudah terseleksi akan diajak bertemu tatap muka.

Selain itu, ada pula strategi menggunakan bot atau akun palsu.

Dulu, cara ini sangat populer karena kontrol, verifikasi, dan pengaturan media sosial terhadap keaslian akun dan konten di platform masih longgar.

Satu orang bisa membuat dan memegang puluhan sampai ratusan akun. Di sisi lain literasi publik masih rendah sehingga relatif lebih mudah dipengaruhi. Bot menjadi alat kampanye yang efektif.

Tagar dan bot

Hal ini dibenarkan oleh salah satu mantan buzzer politik, Dirga (bukan nama sebenarnya). Pada 2014, Dirga bekerja untuk menggaungkan nama politikus peserta konvensi capres Partai Demokrat.

"Ada tim yang buat buzzer-nya. Kita buat akun fake, buat ramein kolom komentar Facebook dan Twitter dia, spam di forum-forum dan share artikel tentang dia," kata Dirga kepada Kompas.com.

Dirga dibayar per akun yang dibuat dan dikendalikannya. Akun yang dibuatnya itu, tentunya akun palsu atau bot.

Ia sendiri juga menghimpun banyak pengikut atau followers, dan meningkatkan engagement. Dua hal tersebut menjadi pertimbangan kelas buzzer atau influencer. Ada kelas 1, 2, dan 3.

"Kalau followers kan bisa beli," ujar Dirga.

Buzzer masih rendah di Indonesia

Peneliti Oxford Samantha Bradshaw dan Philip N Howard mengungkap bagaimana politisi dan pemerintah di berbagai belahan dunia memanfaatkan media sosial untuk kepentingan mereka.

Dalam penelitian berjudul The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation itu Indonesia disebut sebagai salah satu pengguna buzzer di media sosial.

Buzzer yang digunakan di Indonesia ada yang benar-benar orang dan ada yang akun bot. Sementara metode kampanyenya ada yang mendukung, menyerang oposisi, dan mempolarisasi atau memecah masyarakat.

Bentuk kontennya disinformasi atau hoaks, serta amplifikasi pesan dengan membanjiri tagar.

Namun penggunaan buzzer di Indonesia tergolong rendah bila dibanding negara lain. Di kategori rendah, kelompok-kelompok kecil buzzer hanya aktif saat pemilihan umum.

Mereka hanya menggunakan strategi tertentu seperti akun bot untuk mengamplifikasi hoaks. Mereka juga hanya beroperasi di negara sendiri tanpa melibatkan negara lain.

Tarifnya berkisar antara Rp 1 juta hingga Rp 50 juta.

Selain Indonesia, ada 69 negara lain yang diteliti. Negara yang termasuk tinggi penggunaan pasukan sibernya yakni Cina, Mesir, Iran, Israel, Myanmar, Rusia, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Suriah, Venezuela, Vietnam, dan Amerika Serikat.

Negara-negara itu beroperasi dengan tim dan anggaran yang besar. Mereka punya tim khusus yang didedikasikan untuk bekerja setiap waktu di internet, bahkan juga berfokus mengurusi negara lain.

Mereka bahkan melakukan riset dan memanfaatkan data.

Twitter dan Facebook melawan

Fabrikasi pesan di media sosial untuk kepentingan politik ini sebenarnya sudah dicoba dihalau oleh platform yang bersangkutan.

Twitter misalnya, punya fitur untuk melaporkan akun bot yang hanya bekerja untuk menaikkan trending topic.

Jika Anda ingat pada 2018 lalu sempat ada penghapusan massal akun-akun Twitter. Akun yang disasar kebanyakan adalah mereka yang nyampah, menyebar hoaks, dan mengujarkan kebencian.

"Pada Mei 2018, sistem kami mengidentifikasi dan melakukan tindakan pada lebih dari 9,9 juta akun spam atau bot per minggunya," kata Kepala Bidang Integritas Twitter Yoel Roth pada 2018 lalu seperti dikutip dari Twitter.

Selain Twitter, Facebook juga melakukan langkah serupa. Dalam keterangan resminya, Facebook mengaku menghapus laman, grup, hingga akun karena "perilaku tak otentik terkoordinasi".

"Jaringan laman ini sepertinya didesain untuk menyerupai media lokal atau organisasi advokasi," kata David Agranovich, dari Facebook’s Global Lead for Threat Disruption pada Jumat (4/10/2019).

Dari Indonesia, dua laman yang dihapus antara lain bernama "Papua West" dan "West Papua Indonesia". Unggahan akun-akun palsu tersebut ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

Meski pengelola laman berupaya menyamarkan identitas, Facebook menemukan keterkaitan antara akun-akun palsu dengan perusahaan media InsightID asal Indonesia.

Selain di Indonesia, Facebook turut menghapus jaringan akun palsu yang ditemukan di beberapa negara lain, yakni Uni Emirat Arab, Nigeria, dan Mesir.

Jumlah akun palsu yang dihapus mencakup 69 akun Facebook, 42 laman, dan 34 akun Instagram.

Bersambung. 

Buka-bukaan soal Buzzer (4): Menelusuri Jejak InsightID, Buzzer Indonesia yang “Ditendang” Facebook

https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/09/100000665/buka-bukaan-soal-buzzer-3-akun-akun-palsu-yang-menggiring-opini-publik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke