Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Amanda Setiorini W.
Dosen

Akademisi dari Universitas Multimedia Nusantara

Aji Mumpung pada Mental yang Miskin

Kompas.com - 30/04/2024, 11:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Singkatnya, suatu hal bisa disikapi secara positif maupun negatif.

Nah, di sini tergantung pada mental orang tersebut. Ada juga yang menyebutnya sebagai kepribadian. Ketika suatu kesempatan mampir pada mental yang kaya, orang tersebut cenderung lebih mampu untuk berpikir bagi orang lain–karena ia merasa sudah punya, sudah kaya, sudah cukup.

Namun jika kesempatan itu datang pada mental yang miskin, maka yang terpikir olehnya adalah bagaimana mencukupi dirinya sendiri dulu.

Merasa cukup bagi mental yang kaya, jauh lebih mudah dibandingkan pada mental yang miskin.

Kadar “kecukupan”–terutama bagi orang yang bermental miskin–sungguh sangat bervariasi dan tidak dapat diprediksi.

Mental miskin yang mendapatkan sesuatu yang besar, cenderung menjadi serakah. Terus merasa tidak cukup dan perlu terus mencukupi dirinya. Dalam kondisi ini, tidak mungkin ia bisa berpikir untuk orang lain.

Jika melihat sejarah, orang-orang yang bermanfaat bagi orang lain adalah mereka yang sudah “cukup”.

Kartini mendirikan sekolah untuk perempuan bumiputera karena ia adalah perempuan yang mampu mengajar (baca: cukup pendidikan) dan membuat sekolah (baca: cukup secara finansial, meskipun tidak seperti yang kita bayangkan sekarang).

Suwardi Suryaningrat yang mendirikan Sekolah Taman Siswa untuk rakyat jelata pribumi adalah seorang ningrat keturunan Pakualaman. Jelas ia punya kecukupan untuk membangun sekolah bagi orang tak mampu.

Maka, korupsi hanya terjadi pada mental yang miskin. Tidak cukup punya satu rumah, tambah rumah lagi. Tidak cukup uang untuk diri sendiri, korupsi lagi.

Sudah ada uang untuk diri sendiri, cari lagi untuk anak-keturunannya–padahal setiap individu hakikatnya bertanggung jawab atas hidupnya sendiri, tidak terkecuali anak kita.

Tidak cukup satu istri, tambah lagi–toh masih bisa cari uang (baca: korupsi) untuk mendapatkan biaya bagi istri kedua dan seterusnya.

Kata “cukup” ini menjadi mahal harganya, karena hanya kita yang tahu kapankah kondisi cukup itu terpenuhi.

Apakah saat kita mencapai usia tertentu? Saat memiliki sejumlah harta tertentu? Tak ayal lagi, pembelajaran terpenting tentang “cukup” ini diperoleh dari rumah.

Seorang pria usia 75-80 tahun yang memilih untuk tetap bekerja, bukan hanya karena tanggung jawab kepada istrinya (keluarga yang tersisa karena anak-anaknya telah mandiri), tetapi juga agar ilmu pengetahuan yang ia miliki dapat dimanfaatkan oleh orang banyak, adalah bentuk kecukupan yang diajarkan orangtua kepada anaknya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com