Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Amanda Setiorini W.
Dosen

Akademisi dari Universitas Multimedia Nusantara

Aji Mumpung pada Mental yang Miskin

Kompas.com - 30/04/2024, 11:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ANDA mungkin sudah membaca berita tentang turis yang–konon dari Indonesia–merusak bunga Sakura di Jepang demi dokumentasi–atau konten.

Dilihat dari video yang banyak diunggah di media sosial, seseorang menggoyang-goyangkan dahan sehingga bunganya berguguran, sementara rekannya berpose di bawah guguran bunga sakura tersebut. Wah-wah…

Sebagai sesama penikmat wisata, saya juga kerap mengalami hal seperti ini: aji mumpung! Mumpung sampai di Jepang. Mumpung melihat bunga sakura. Mumpung musim semi. Mumpung ini dan itu, sampai dengan “mumpung ada dahan yang rendah untuk digoyang-goyang”!

Semua serba “mumpung”, bahkan untuk alasan yang remeh sekalipun. Pokoknya mumpung bisa!

Permasalahan dengan aji mumpung ini adalah tenggat waktunya yang terbatas. Kita tidak sempat memikirkan masak-masak apa dampak dari tindakan tersebut.

Dalam ilmu manajemen, salah satu langkah pengambilan keputusan adalah memeriksa–artinya menyusun dan mengevaluasi–semua alternatif yang ada. Nah, ini yang tidak dimiliki saat kita berhadapan dengan aji mumpung.

Hal ini diperkuat dengan dunia yang sekarang penuh persaingan. Siapa yang mampu berpikir–dan mengambil keputusan dengan–cepat, dialah yang akan menang.

Kesempatan tidak datang dua kali. Datang sekali pun, waktunya tidak akan lama. Jadi, seperti ujaran salah satu pejabat kita tempo hari: lebih cepat, lebih baik. Maka, banyak orang segera menyambar kesempatan apapun yang muncul di hadapannya.

Ketika baru pertama kali bisa bepergian keluar negeri, saya mengenal betul aji mumpung ini. Mumpung bisa ke suatu negara, maka habis-habisanlah di negara tersebut: datangi tempat wisata sebanyak mungkin–tidak memedulikan tubuh yang lelah kecuali sampai benar-benar tepar tidak bisa bangun.

Belanja oleh-oleh sebanyak dan selengkap mungkin–kadang berakhir dengan kelebihan kuota bagasi. Mencoba makanan aslinya–dengan risiko perut memberontak jika tidak sesuai, dan lain-lain. Intinya, memanfaatkan kesempatan semaksimal mungkin.

Mengapa hal ini dilakukan? Karena kekhawatiran bahwa kita belum tentu bisa kembali ke tempat tersebut pada masa yang akan datang. Apalagi kalau ditambahi pemikiran: sudah bayar mahal-mahal, masa tidak bisa. Runyam! Jadi, mumpung ada di situ, totalitas diperlukan!

Apa yang terjadi setelah beberapa kali pergi keluar negeri? Kita tidak lagi nervous, tetapi lebih bisa mengatur kegiatan dengan baik.

Kita tahu kapan harus beristirahat, kapan dan berapa lama berwisata, apa saja yang bisa dijadikan buah tangan, dan seterusnya.

Kita tidak lagi ngoyo untuk memaksimalkan kesempatan, karena pengalaman hidup sudah membuktikan bahwa kita bisa kok pergi lagi keluar negeri.

Sebenarnya, aji mumpung tidak selalu negatif. Bisa juga digunakan secara positif. Misalnya, ketika mendapat penghasilan yang cukup baik di suatu pekerjaan, bisa digunakan untuk membantu yang lain: membangun shelter untuk hewan terlantar, rutin menyantuni panti asuhan, mengambil anak asuh untuk disekolahkan, dan lain-lain.

Singkatnya, suatu hal bisa disikapi secara positif maupun negatif.

Nah, di sini tergantung pada mental orang tersebut. Ada juga yang menyebutnya sebagai kepribadian. Ketika suatu kesempatan mampir pada mental yang kaya, orang tersebut cenderung lebih mampu untuk berpikir bagi orang lain–karena ia merasa sudah punya, sudah kaya, sudah cukup.

Namun jika kesempatan itu datang pada mental yang miskin, maka yang terpikir olehnya adalah bagaimana mencukupi dirinya sendiri dulu.

Merasa cukup bagi mental yang kaya, jauh lebih mudah dibandingkan pada mental yang miskin.

Kadar “kecukupan”–terutama bagi orang yang bermental miskin–sungguh sangat bervariasi dan tidak dapat diprediksi.

Mental miskin yang mendapatkan sesuatu yang besar, cenderung menjadi serakah. Terus merasa tidak cukup dan perlu terus mencukupi dirinya. Dalam kondisi ini, tidak mungkin ia bisa berpikir untuk orang lain.

Jika melihat sejarah, orang-orang yang bermanfaat bagi orang lain adalah mereka yang sudah “cukup”.

Kartini mendirikan sekolah untuk perempuan bumiputera karena ia adalah perempuan yang mampu mengajar (baca: cukup pendidikan) dan membuat sekolah (baca: cukup secara finansial, meskipun tidak seperti yang kita bayangkan sekarang).

Suwardi Suryaningrat yang mendirikan Sekolah Taman Siswa untuk rakyat jelata pribumi adalah seorang ningrat keturunan Pakualaman. Jelas ia punya kecukupan untuk membangun sekolah bagi orang tak mampu.

Maka, korupsi hanya terjadi pada mental yang miskin. Tidak cukup punya satu rumah, tambah rumah lagi. Tidak cukup uang untuk diri sendiri, korupsi lagi.

Sudah ada uang untuk diri sendiri, cari lagi untuk anak-keturunannya–padahal setiap individu hakikatnya bertanggung jawab atas hidupnya sendiri, tidak terkecuali anak kita.

Tidak cukup satu istri, tambah lagi–toh masih bisa cari uang (baca: korupsi) untuk mendapatkan biaya bagi istri kedua dan seterusnya.

Kata “cukup” ini menjadi mahal harganya, karena hanya kita yang tahu kapankah kondisi cukup itu terpenuhi.

Apakah saat kita mencapai usia tertentu? Saat memiliki sejumlah harta tertentu? Tak ayal lagi, pembelajaran terpenting tentang “cukup” ini diperoleh dari rumah.

Seorang pria usia 75-80 tahun yang memilih untuk tetap bekerja, bukan hanya karena tanggung jawab kepada istrinya (keluarga yang tersisa karena anak-anaknya telah mandiri), tetapi juga agar ilmu pengetahuan yang ia miliki dapat dimanfaatkan oleh orang banyak, adalah bentuk kecukupan yang diajarkan orangtua kepada anaknya.

Di satu sisi, tanggung jawab menafkahi keluarga tidak berhenti di usia tertentu, tetapi meraih kekayaan atau kejayaan sudah bukanlah tujuannya.

Untuk turis yang menggugurkan bunga sakura demi konten, tidak cukupkah hanya menikmati cantiknya bunga tersebut? Tidak cukupkah dengan bersyukur bisa melihatnya dengan mata kepala sendiri, bukan dari foto orang-orang atau media sosial?

Banyak orang tidak bisa datang ke Jepang untuk melihat langsung bunga Sakura, lho.

Orang Jepang memiliki tradisi hanami untuk menikmati keindahan Sakura. Mereka duduk-duduk di bawah pohon Sakura sambil menikmati kudapan bersama keluarga. Dan, itu pun tidak mudah. Karena hanami hanya dapat dilakukan bila cuaca mendukung.

Padahal, musim semi adalah peralihan dari musim dingin. Jadi, kalau hawanya masih terlalu dingin, duduk-duduk menikmati bunga Sakura pun tidak mungkin dilakukan. Apalagi jika disertai hujan.

Dengan demikian, penghormatan kepada alam adalah bagian terpenting dalam kehidupan mereka, dan seharusnya juga kita.

Senyatanya, kebijakan yang paling hakiki adalah mampu merasa cukup. Bukankah dalam Islam, Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan untuk berhenti makan sebelum kenyang? Itulah cara mengajarkan pada diri untuk merasa “cukup”.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com