Namun, upaya tersebut ditolak karena Kahar Muzakkar khawatir akan diperdaya dan ditangkap.
Tidak hanya pemerintah yang berusaha menjangkau Kahar Muzakkar, begitu pula dengan sejumlah wakil organisasi, termasuk Kartosoewirjo pelopor sekaligus pimpinan DI/TII Jawa Barat.
Merasa sumbangan mereka untuk revolusi justru dibalas dengan pengkhianatan oleh pemerintah, Kahar Muzakkar memilih berafiliasi dengan Pemberontakan DI/TII yang dipelopori oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada 1953.
Baca juga: Penyebab Pemberontakan DI/TII Sulawesi Selatan
Pada 15 September 1952, Kahar Muzakkar memutuskan bahwa Islam sebagai dasar gerakannya.
Kemudian, baru pada 7 Agustus 1953, Kahar Muzakkar menyatakan Sulawesi Selatan sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia yang dicita-citakan gerakan DI/TII.
Sejak mendukung gerakan DI/TII, Kahar dijadikan Panglima Divisi IV TII (Divisi Hasanuddin).
Sejak itu pula, beragam teror terjadi. Gerombolan gerilyawan yang dituding sebagai pemberontak mulai melancarkan aktivitas militer mereka.
Mereka merusak jembatan, jaringan komunikasi, menyerbu barak-barak polisi, dan meneror penduduk non-Muslim.
Kendati demikian, militer Angkatan Darat mengaku tidak tahu apakah tindakan itu dilakukan atas perintah Kahar Muzakkar.
Satu yang pasti, Kahar Muzakkar pernah memimpin gerombolannya melancarkan serangan atas Kota Palopo dan ingin menjadikan Luwu sebagai pangkalannya.
Baca juga: Daud Beureueh, Pemimpin Pemberontakan DI/TII di Aceh
Pada 1957, Kahar Muzakkar dengan dukungan aristokrasi yang semakin merosot jumlahnya, masih memegang kekuasaan atas sebagian besar Sulawesi Selatan.
Selama rentang waktu pemberontakan Kahar Muzakkar, gerombolan yang dipimpinnya memang selalu mengalami perubahan.
Hal itu pula yang menimbulkan persoalan internal, di mana timbul pertentangan antara Kahar Muzakkar dan beberapa komando bawahannya.
Memasuki tahun 1962, gerakan Kahar Muzakkar bukan lagi menjadi ancaman besar seperti tahun-tahun sebelumnya.
Pada pengujung 1964, Divisi Siliwangi di bawah komando Solihin, berhasil memburu Kahar Muzakkar dan sisa-sisa pendukungnya hingga ke Sulawesi Tenggara.
Dalam penyergapan pada 3 Februari 1965 itu, Kahar Muzakkar tewas di tangan Kopral Sadeli di pinggir Sungai Lasolo.
Baca juga: Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Pelopor Gerakan DI/TII
Mulanya, Kahar Muzakkar tidak direncanakan akan dieksekusi di tempat.
Namun, ketika Kahar Muzakkar berusaha melarikan diri dan menggenggam granat, tembakan pun dilepaskan.
Sadeli membandingkan jasad yang baru saja ia tembak dengan foto Kahar yang dibawanya, dan ternyata sama.
Setelah diterbangkan ke Makassar, jenazah Kahar juga diidentifikasi oleh keluarganya.
Di saat yang sama, masih banyak pengikut setia Kahar yang menyangkal kematiannya.
Kahar Muzakkar memang dielu-elukan, khususnya oleh para simpatisannya, sebagai pahlawan rakyat legendaris.
Bagi sebagian pengikutnya, berita kematian Kahar hanyalah propaganda pemerintah.
Mereka lebih percaya bahwa Kahar sebenarnya melarikan diri dan hidup menggunakan identitas baru.
Referensi: