Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pembantaian PKI 1965, Hari-hari Kelam Pasca-G30S

Kompas.com - 02/10/2023, 16:18 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Tri Indriawati

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pembunuhan besar-besaran dan kerusuhan sipil yang menargetkan anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dilakukan di Indonesia sejak 1965 hingga 1966.

Adapun sejumlah kelompok yang menjadi korban pembantaian PKI adalah orang-orang yang diduga simpatisan komunis, perempuan gerwani, anggota serikat buruh, etnis Tionghoa, dan para antek sayap kiri.

Pembantaian PKI 1965 terjadi setelah peristiwa G30S, yaitu penculikan dan pembunuhan terhadap enam jenderal TNI AD dan satu perwira, yang kemudian dibuang ke Lubang Buaya, Jakarta Timur.

PKI kemudian dituding menjadi dalang di balik peristiwa G30S.

Menindaklanjuti dugaan tersebut, upaya pembantaian PKI pun dilakukan sejak Oktober 1965 hingga 1966 di beberapa kota, termasuk Jawa dan Bali.

Baca juga: Tokoh-tokoh dalam Peristiwa G30S

Latar belakang terjadinya pembantaian 1965

Sebelum mengulas lebih lanjut mengenai pembantaian PKI 1965, ketahui lebih dulu apa yang melatarbelakangi terjadinya aksi tragis tersebut.

Hal yang melatarbelakangi terjadinya pembantaian PKI 1965 adalah peristiwa G30S.

Peristiwa G30S terjadi pada malam pergantian tanggal 30 September 1965 ke 1 Oktober 1965, di mana sebanyak tujuh perwira TNI AD diculik dan dibunuh, lalu jasadnya dibuang ke Lubang Buaya.

Pada 1 Oktober 1965, sekitar pukul 07.00, pemimpin G30S yaitu Letnan Kolonel Untung Syamsuri mengumumkan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) pusat di Jakarta, bahwa aksi ini untuk melindungi Presiden Soekarno yang kabarnya hendak dikudeta oleh Dewan Jenderal.

Letkol Untung sendiri diketahui terafiliasi dengan PKI.

Lebih lanjut, Dewan Jenderal yang dipercaya sejalan dengan Amerika Serikat dan anti terhadap PKI, juga ingin menyingkirkan Soekarno yang kala itu lebih condong ke Uni Soviet dan anti-Barat.

Kabarnya, PKI mendapat informasi tentang Dewan Jenderal dari rekan mereka di militer yang merupakan simpatisan PKI.

Berbekal informasi itu, para perwira militer simpatisan PKI yang loyal kepada Soekarno pun secara diam-diam bergerak untuk mencegah terjadinya kudeta.

Letkol Untung bersama rekan-rekannya yang lain kemudian menyusun rencana penculikan tujuh perwira TNI yang diduga merupakan Dewan Jenderal untuk kemudian dibawa ke hadapan Presiden Soekarno.

Namun dalam praktiknya, semua rencana yang sudah disusun itu kacau-balau.

Ketujuh perwira TNI AD tersebut justru dibunuh dan jasadnya dibuang ke Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Dalam pelaksanaannya, tidak sedikit tokoh PKI yang terlibat dalam G30S.

Hal ini kemudian melahirkan sebuah narasi yang menyebutkan PKI merupakan dalang di balik terjadinya peristiwa G30S.

Aksi demonstrasi kemudian muncul di berbagai daerah yang menuntut agar pemerintah segera membubarkan PKI dan ormas-ormasnya.

Baca juga: Siapa yang Menemukan Korban G30S di Lubang Buaya?

Pelaku pembantaian PKI

Setelah G30S terjadi, Mayor Jenderal Soeharto dan kawan-kawannya menyalahkan PKI sebagai dalang G30S.

Merebaknya isu dugaan penyiksaan dan mutilasi terhadap tujuh perwira TNI AD di Lubang Buaya pun memicu pecahnya demonstrasi anti-PKI.

Soeharto mengirimkan pasukan terjun payung Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah Kolonel Sarwo Edhie ke Semarang, Jawa Tengah.

Sesampainya RPKAD di Semarang, warga membakar habis markas PKI, tentara menyapu bersih pedesaan dengan dibantu oleh penduduk setempat dalam membunuh orang-orang yang diduga komunis.

Sejak Oktober 1965 hingga Maret 1966, sekitar 200.000 hingga jutaan anggota dan simpatisan PKI dibunuh oleh satuan tentara Indonesia dan milisi sipil yang antikomunis, dengan dikomandoi oleh Soeharto.

Pembantaian PKI 1965 terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, mulai dari Jakarta, Jawa, Bali, hingga Sumatera.

Setiap wilayah mengalami genosida yang berbeda-beda.

Akan tetapi, di semua wilayah, setiap anggota PKI dan tersangka simpatisannya menjadi sasaran utama.

Upaya pembantaian PKI 1965 semakin merebak setelah lahirnya Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar pada 11 Maret 1966.

Lewat Supersemar, Presiden Soekarno secara resmi menyerahkan kuasa untuk mengatasi keadaan kepada Soeharto.

Selanjutnya, Soeharto tanpa pikir panjang langsung menumpas PKI.

Setidaknya ada 500.000 orang yang dituduh PKI atau simpatisannya, dihabisi di berbagai penjuru Indonesia.

Ada pula yang dipenjara hingga puluhan tahun, salah satunya Kolonel Latief.

Tidak hanya dilakukan oleh satuan tentara Indonesia, pembantaian PKI juga didukung oleh masyarakat setempat yang antikomunis.

Guna memastikan tidak ada lagi tubuh PKI di Indonesia, Presiden Soeharto memutuskan untuk membubarkan PKI dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 1/3/1966.

Keputusan tersebut semakin diperkuat melalui Ketetapan MPRS Nomor XXV/1966 yang ditetapkan oleh Ketua MPRS Jenderal TNI AH Nasution pada 5 Juli 1966.

Baca juga: Sukitman, Polisi yang Lolos dari Tragedi G30S di Lubang Buaya

Pembantaian PKI di Jawa Timur dan Bali

Pembantaian PKI oleh Ansor di Jawa Timur

Gerakan Pemuda Ansor adalah organisasi kepemudaan, kemasyarakatan, kebangsaan, dan keagamaan yang berada di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU).

Dalam sejarahnya, GP Ansor sempat terlibat dalam beberapa peristiwa penting, salah satunya pembantaian PKI.

Salah satu daerah yang berupaya menumpas keberadaan PKI adalah Bojonegoro.

Ada 25 desa di dalam Kecamatan Kanor, Bojonegoro, yang rata-rata ada anggota PKI di setiap desanya.

Mulanya, keberadaan PKI tidak mengganggu masyarakat.

Namun, lambat laun kegiatan yang dilakukan PKI membuat masyarakat merasa tidak nyaman.

Puncak amarah masyarakat Kanor terjadi setelah peristiwa G30S 1965.

Kala itu, anggota-anggota PKI yang berada di Kantor pun mulai diberantas.

Ansor kemudian mendata nama-nama anggota yang diduga PKI untuk ditindaklanjuti.

Sejumlah anggota PKI pun ditahan selama beberapa pekan.

Sementara itu, Ansor melanjutkan aksi mereka.

Penumpasan PKI dilakukan malam hari sekitar pukul 23.00 WIB hingga menjelang subuh.

Pemuda Ansor yang dibantu oleh Barisan Serba Guna (Banser) mendapat pembagian tugas berbeda.

Ada yang bertugas mengeksekusi, mengantarkan, ada juga yang berjaga di tempat tahanan.

Setelah itu, anggota PKI yang hendak dieksekusi digiring keluar menuju dekat aliran Bengawan Solo dengan berjalan kaki.

Di tempat itulah, para anggota PKI dibantai oleh Ansor.

Selain di Bojonegoro, pembantaian PKI juga dilakukan di Lumajang, Jawa Timur.

Menurut saksi yang bertugas sebagai anggota Pertahanan Sipil (Hansip) di dusunnya, menjelang proses pembantaian, musala dan masjid dipenuhi oleh warga yang ketakutan.

Disebutkan bahwa pelaku pembantaian PKI tidak hanya Banser atau Ansor, melainkan juga sejumlah warga lainnya.

Ujar saksi, anggota dan tersangka PKI diangkut menggunakan truk dan digiring ke bantaran sungai di Srebet.

Dalam kondisi kedua tangan disilangkan ke belakang dan kedua ibu jari diikat dengan benang, mereka dibunuh.

Konon, jasad mereka dimasukkan ke dalam sebuah lubang yang sudah dipersiapkan di dekat sungai itu.

Baca juga: Dugaan Keterlibatan Inggris dalam Pembantaian PKI di Indonesia

Pembantaian PKI di Bali

Operasi pembantaian PKI di Bali dimulai pada 7 Desember 1965.

Saat itu, Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang dipimpin oleh Mayor Djasmin mendarat di Bali.

Akan tetapi, disebutkan bahwa sebelum RPKAD datang ke Bali, situasi di Pulau Dewata itu sudah tegang.

Sebab, gerombolan antikomunis menyerang dan membakar habis rumah-rumah anggota PKI.

Lalu, beberapa anggota PKI juga ditangkap, sedangkan sebagian lainnya menyerahkan diri ke polisi untuk mendapat perlindungan.

Sesampainya RPKAD di Bali, target pertama jatuh pada salah satu donatur Central Daerah Besar PKI Bali, yaitu I Gede Poeger.

I Gede Poeger bersama beberapa pemimpin PKI di Bali dieksekusi pada 16 Desember 1965.

Disebutkan bahwa I Gede Poeger dieksekusi dengan ditusuk menggunakan pisau dan kepalanya ditembak.

Kala itu, pasukan RPKAD diperkirakan telah membunuh sekitar 30 orang PKI di Bali.

Baca juga: Dugaan Keterlibatan Inggris dalam Pembantaian PKI di Indonesia

Jumlah korban

Sejak Oktober 1965 hingga pertengahan tahun 1966, diperkirakan sekitar satu setengah juta anggota PKI dan organisasi yang berafiliasi dengannya dibunuh.

Lalu, sekitar satu juta orang lainnya ditahan tanpa pernah diadili.

Kendati begitu, jumlah korban tewas yang akurat dan terverifikasi masih belum diketahui sampai saat ini.

Sebelum pembunuhan selesai, Angkatan Darat Indonesia memperkirakan korban tewas sebanyak 78.500, sedangkan PKI memperkirakan angkanya mencapai dua juta orang.

Lalu, pada 1966, seorang sejarawan kebangsaan Anglo-Irlandia, yaitu Benedict Anderson, menetapkan jumlah korban tewas sebanyak 200.000 jiwa.

Kemudian, pada 1985, ia menyimpulkan bahwa total 500.000 hingga 1 juta orang telah terbunuh.

Penangkapan dan pemenjaraan pun terus berlanjut selama sepuluh tahun setelah pembersihan.

Menurut laporan Amnesty International tahun 1977, satu juta kader PKI dan orang lain yang teridentifikasi simpatisan PKI ditahan.

Dari hasil penyelidikan Komnas HAM, sekitar 32.774 orang diketahui hilang dan beberapa tempat diketahui menjadi lokasi pembantaian para korban.

Sementara itu, beberapa riset menyatakan bahwa korban mencapai lebih dari 2 juta orang.

Tidak hanya korban, keluarga korban juga turut mengalami diskriminasi karena dituduh sebagai keluarga PKI.

Selain harus kehilangan pekerjaan, banyak juga di antara mereka yang tidak bisa melanjutkan sekolah, dikucilkan dari lingkungan, hingga kesulitan mendapat pekerjaan.

Pada 2008, Komnas HAM membentuk Tim Penyelidikan Pro Justisia untuk menganalisis peristiwa pembunuhan massal 1965.

Setelah sekitar empat tahun bekerja, Komnas HAM telah memeriksa sebanyak 349 saksi korban dan berkunjung ke tempat-tempat yang diduga menjadi tempat penahanan.

Lalu, pada 23 Juli 2012 lalu, Tim Penyelidik Pro Justisia Komnas HAM mengumumkan hasil penyelidikannya dan menyatakan terdapat dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa pembunuhan PKI 1965.

 

Referensi:

  • Taum, Yoseph Tapi. (2015). Sastra dan Politik, Representasi Tragedi 1965 dalam Negara Orde Baru. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.
  • Cribb, Robert. (2009). Pembantaian di Indonesia. Century of Genocide: Essays and Eyewitness Accounts.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com