Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kaba Anggun Nan Tongga, Cerita Rakyat Minangkabau

Kompas.com - 02/08/2023, 16:00 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Tri Indriawati

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kaba Anggun Nan Tongga adalah cerita rakyat yang populer di Minangkabau, Sumatera Barat.

Di daerah-daerah berbahasa Melayu cerita ini dikenal dengan nama Hikayat Anggun Cik Tunggal.

Cerita ini mengisahkan tentang petualangan dan kisah cinta antara Anggun Nan Tongga dengan kekasihnya Gondan Gondoriah.

Berikut ini kisah lengkapnya.

Baca juga: Plakat Panjang, Larangan Peperangan di Minangkabau

Ringkasan cerita

Di sebuah lorong pendalaman kampung, hidup seorang pria bernama Anggun Nan Tongga, yang juga bergelar Magek Jabang.

Ibunya, Ganto Sani, meninggal dunia tidak lama setelah melahirkan ia, sedangkan sang ayah pergi ke Gunung Ledang.

Sejak kecil, Anggun Nan Tongga hidup bersama tantenya yang bernama Suto Suri.

Sejak kecil pula, Anggun Nan Tongga sudah dijodohkan oleh seorang gadis bernama Gondan Gondoriah.

Di bawah asuhan bibinya, Anggun Nan Tongga tumbuh menjadi pria muda yang cerdas dan pandai berkuda, silat, dan mengaji.

Suatu hari, terdengar sebuah kabar bahwa di Sungai Garinggiang, Nangkodoh Baha membuka sebuah arena pertandingan untuk mencari suami badi adiknya, Intan Korong.

Nan Tongga kemudian meminta izin kepada Suto Suri untuk ikut serta.

Awalnya, Suto Suri tidak setuju, karena Nan Tongga sudah bertunganan dengan Gondan Gondoriah.

Namun, Nan Tongga tetap bersikeras ingin mengikuti pertandingan tersebut. Alhasil, Suto Suri pun mengalah.

Dalam pertandingan ini, Nan Tongga selalu berhasil memenangi setiap permainan, mulai dari sabung ayam hingga catur.

Salah satu lawannya, yaitu Nangkodoh Baha yang malu dengan kekalahannya kemudian mengejek Nan Tongga.

Nan Tongga dicap telah membiarkan ketiga mamaknya ditawan bajak laut di Pulau Binuang Sati.

Dalam bahasa Minang, mamak berarti panggilan untuk saudara laki-laki ibu.

Karena ejekan itu, Nan Tongga pun bertekad untuk mencari ketiga mamaknya, yaitu Mangkudun Sati, Nangkodoh Rajo, dan Katik Intan.

Nan Tongga kemudian meminta izin kepada Sato Suri dan Gondan.

Baca juga: Dakwah Kaum Padri di Minangkabau

Gondan pun meminta Nan Tongga untuk membawakannya sejumlah benda dan hewan langka sebanyak 120 buah, beberapa di antaranya adalah burung nuri yang pandai berbicara, beruk yang pandai bermain kecapi, dan kain cindai yang tak basah oleh air.

Nan Tongga berangkat berlayar menggunakan kapal bernama Dandang Panjang, yang dinakhodai oleh Malin Cik Ameh.

Setelah berlayar beberapa waktu, Nan Tongga berlabuh di Pulau Binuang Sati.

Sesampainya di sana, Nan Tongga diusir oleh utusan Panglima Bajau, Raja Pulau Binuang Sati. Namun, ia menolak pergi.

Alhasil, terjadi pertempuran yang dimenangi oleh Nan Tongga.

Masih di pulau ini juga, Nan Tongga berhasil menemukan salah satu mamaknya, yaitu Nangkodoh Rajo, yang dikurung di dalam kandang babi.

Nangkodoh Rajo kemudian mengatakan bahwa kedua mamaknya yang lain berhasil meloloskan diri ketika pertempuran di laut dengan pasukan Panglima Bajau terjadi.

Setelah itu, Nan Tongga meminta Malin Cik Ameh pulang ke Pariaman menggunakan kapal rampasan dari Binuang Sati dan memberi pesan kepada warga di kampung bahwa Nangkodoh Rajo berhasil dibebaskan.

Nan Tongga melanjutkan pelayarannya ke Kota Tanau, tempat ia menemukan mamaknya yang lain.

Putri sang mamak, yaitu Putri Andani Sutan, diketahui memiliki burung nuri yang pandai berbicara.

Namun, untuk bisa mendapatkan burung nuri itu, Nan Tongga diharuskan menikahi Putri Andani Sutan.

Karena tidak memiliki pilihan lain, Nan Tongga pun terpaksa menikahinya.

Setelah menikah, burung nuri itu terlepas dari sangkarnya dan menemui Gondan.

Burung tersebut memberitahu Gondan bahwa tunangannya sudah menikah.

Mendengar kabar tersebut, Gondan mulai gusar.

Sementara itu, Nan Tongga sudah tidak dapat menahan kerinduannya pada kampung halaman dan tunangannya.

Ia pun memutuskan meninggalkan Andani Sutan yang sedang mengandung.

Sekembalinya Nan Tongga ke kampung halamannya, ia segera mendatangi Gondan dan ingin menikahinya.

Keduanya kemudian pergi mencari Tuanku Haji Mudo untuk meminta restu.

Akan tetapi, betapa terkejutnya mereka setelah mengetahui bahwa ternyata Nan Tongga dan Gondan adalah saudara sepersusuan.

Sebab, Nan Tongga pernah menyusu pada ibu dari Gondan Gondoriah.

Pada akhirnya, Nan Tongga, Gondan Gondoriah, dan Tuanku Haji Mudo menghilang secara misterius dan dianggap sudah meninggal dunia.

 

Referensi:

  • Jamaris, Edwar. (2002). Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com