Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Suku Asmat, Suku Asli Papua

Kompas.com - 23/07/2023, 08:00 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Suku Asmat adalah suku asli Papua yang memiliki kebudayaan tersendiri.

Salah satunya adalah kebudayaan mengukir dan memahat sejak zaman nenek moyang.

Populasi suku Asmat terbagi menjadi dua, yaitu populasi yang tinggal di pesisir pantai dan yang tinggal di pedalaman.

Asal-usul suku Asmat dipercaya berasal dari sebuah cerita mitologi Fumeripits (Dewa Sang Pencipta) yang berkembang di daerah tersebut.

Baca juga: Suku Asmat, Suku Asli Papua

Asal-usul suku Asmat

Fumeripits merupakan seorang dewa yang dipercaya turun ke bumi menjelajah dan memulai petualangan dari ufuk barat matahari terbenam.

Dalam penjelajahannya tersebut, Sang Dewa harus berhadapan dengan seekor buaya raksasa dan mengalahkannya.

Namun dalam mencapai kemenangannya, Sang Dewa mengalami luka parah dan terdampar di tepi sungai.

Sembari menahan sakit, Sang Dewa harus bertahan hingga akhirnya ia bertemu seekor burung Flamingo berhati mulia.

Konon, burung flamingo tersebut yang merawat Sang Dewa sampai ia pulih.

Setelah sehat, Sang Dewa memutuskan untuk tinggal di daerah tersebut, membangun rumah, mengukir dua buah patung, dan membuat sebuah genderang untuk mengiringinya menari.

Pasalnya, gerakan tari Sang Dewa mampu membuat kedua patung yang ia buat hidup dan ikut menari menirukan gerakan Sang Dewa.

Kemudian, dikisahkan bahwa kedua patung itu menjadi pasangan manusia dan merupakan nenek moyang suku Asmat.

Penggunaan nama Asmat sendiri sudah dikenal sejak tahun 1904.

Hal ini mengacu pada catatan tahun 1770, di mana sebuah kapal yang dinahkodai oleh James Cook, seorang pelaut Inggris yang mendarat di sebuah teluk di daerah Asmat.

Setelah itu, tiba-tiba muncul puluhan perahu lesung panjang yang didayung ratusan laki-laki berkulit gelap dengan wajah dan tubuh yang diolesi warna-warna merah, hitam, dan putih.

Konon, penduduk tersebut menyerang dan membunuh sejumlah anak buah dari James Cook.

Laki-laki inilah yang kemudian dikenal sebagai penduduk asli suku Asmat.

Baca juga: Seni Pahat Suku Asmat Papua, Pahatan Rumit dengan Alat Sederhana

Ciri-ciri fisik

Penduduk asli suku Asmat memiliki ciri-ciri fisik yang khas.

Adapun ciri-ciri fisik suku Asmat adalah:

  • Berkulit hitam
  • Rambut keriting
  • Bertubuh tinggi rata-rata 162 sentimeter untuk wanita dan 172 sentimeter untuk pria
  • Kulitnya diberi warna merah, hitam, dan putih

Adat istiadat suku Asmat

Rumah Bujang

Salah satu adat istiadat suku Asmat adalah Rumah Bujang atau yang biasa disebut ‘jew’. ‘Jew’ merupakan rumah utama, tempat segala aktivitas dilakukan.

Namun, hanya pria yang belum menikah saja yang boleh tinggal di dalam Rumah Bujang. Sesuai namanya, Bujang, yang berarti pria-pria yang belum menikah atau memiliki pasangan.

Sementara itu, perempuan hanya diperbolehkan sesekali saja masuk ke dalam ‘jew’.

Baca juga: Sejarah Betawi, Suku Asli Jakarta

Merupakan pengukir andal

Suku Asmat juga dikenal sebagai pengukir yang andal dan diakui secara internasional.

Suku Asmat banyak mengukir dan membuat patung yang beraneka ragam.

Biasanya, ukiran yang mereka hasilkan memiliki kisah tersendiri, seperti kisah para leluhur, kehidupan sehari-hari, dan rasa cinta mereka kepada alam.

Kepercayaan

Suku Asmat meyakini bahwa di lingkungan tempat mereka tinggal juga ada berbagai macam roh yang mereka bagi ke dalam tiga golongan, yaitu:

  • Yi-ow: roh nenek moyang yang bersifat baik
  • Osbopan: roh jahat yang dianggap sebagai penghuni beberapa jenis tertentu
  • Dambin-Ow: roh jahat yang mati konyol

Baca juga: Suku-suku di Papua Selatan

Upacara besar

Suku Asmat memiliki sejumlah tradisi upacara besar yang berkaitan dengan penghormatan roh nenek moyang, sebagai berikut:

  • Mbismbu (pembuat tiang)
  • Yentpokmbu (pembuatan dan pengukuhan rumah yew)
  • Tsyimbu (pembuatan dan pengukuhan perahu lesung)
  • Yamasy pokumbu (upacara perisai)
  • Mbipokumbu (upacara topeng)

Suku Asmat percaya bahwa mereka yang sudah meninggal sebelum masuk surga akan mengganggu manusia.

Bentuk gangguannya bisa berupa penyakit, bencana, bahkan perang.

Oleh sebab itu, demi menyelamatkan manusia, mereka yang masih hidup membuat patung dan menggelar pesta patung bis, pesta topeng, pesta perahu, dan pesta ulat-ulat sagu.

 

Referensi:

  • Koentjaraningrat. (1998). Pokok-pokok Etnografi. Jakarta: Rineka Cipta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com