Dalam autobiografinya, Soekarno pernah menyalahkan diri sendiri karena mempropagandakan program rekrutmen romusha.
Namun, tokoh-tokoh yang dinilai lebih bertanggung jawab untuk menjerumuskan rakyat adalah para pejabat setempat.
Mereka kerap mengeruk untung atas setiap tenaga romusha yang diserahkan kepada tim rekrutmen seraya melindungi keluarga dan teman-temannya sendiri.
Baca juga: Apa Itu Romusha?
Meski secara teratur memperoleh upah, hasil yang diterima romusha sangatlah rendah.
Besaran upah tergantung pada kemampuan mereka, yang umumnya langsung dipotong untuk dikirim ke keluarganya.
Mirisnya, upah mereka banyak yang tidak sampai ke tangan keluarga karena diselewengkan.
Selain pekerjaan berat dan upah yang rendah, persoalan yang harus dihadapi romusha adalah kekurangan makan.
Mereka hanya diberi jatah sangat sedikit, dan dalam banyak kasus masih dicuri oleh para mandor.
Penderitaan mereka semakin bertambah ketika istem pengerahan romusha mulai berubah menjelang akhir 1943, ketika Jepang mengambil sikap bertahan dan mengamankan dirinya dari Sekutu dengan bantuan militer selama waktu tertentu.
Pada titik ini, romusha telah berubah menjadi perbudakan karena permintaan peningkatan pasokan tenaga kerja oleh Pemerintah jepang.
Baca juga: Terowongan Niyama Romusha: Sejarah, Pembangunan, dan
Perekrutan romusha dilakukan dalam skala besar dan secara sistematis.
Semua pejabat lokal seperti camat atau kepala desa, diminta untuk menyediakan kuota tetap pekerja.
Selain itu, proses rekrutmennya dilakukan secara paksa, di mana para tentara Jepang diterjunkan untuk mengejar orang-orang yang berpotensi jadi romusha sampai ke pelosok desa.
Para romusha tidak hanya dipekerjakan di sekitar daerahnya, tetapi hingga ke luar negeri seperti Malaysia dan Myanmar.
Masa kerja mereka juga tidak lagi hanya bekerja selama hitungan bulan, tetapi lebih dari satu tahun.