KOMPAS.com - Perang Aceh terjadi sejak tahun 1873 hingga 1904, antara rakyat Aceh melawan Belanda.
Perang Aceh termasuk dalam salah satu perang terlama di dunia.
Upaya Belanda untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara terhambat di wilayah Aceh karena Aceh sulit ditaklukkan oleh Belanda.
Perang yang berlangsung selama lebih dari 30 tahun ini tentu telah memberikan dampak tersendiri, baik di pihak Aceh maupun Belanda.
Lantas, apa sebab dan akibat Perang Aceh?
Baca juga: Perang Aceh: Penyebab, Tokoh, Jalannya Pertempuran, dan Akhir
Pada dasarnya, penyebab terjadinya Perang Aceh terbagi ke dalam dua bagian, yaitu sebab umum dan sebab khusus.
Penyebab terjadinya Perang Aceh adalah ketika Inggris dan Belanda melanggar kesepakatan yang sudah mereka tanda tangani dalam Traktat London tanggal 17 Maret 1824.
Pasalnya, dalam traktat tersebut telah disebutkan bahwa Inggris memberikan izin kepada Belanda untuk menguasai wilayah Sumatera, kecuali Aceh.
Namun Belanda melanggar perjanjian tersebut dan tetap berusaha menggempur Aceh.
Menanggapi hal ini, Sultan Aceh pun mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan dari Belanda.
Kekhawatiran Aceh semakin meningkat setelah Inggris dan Belanda menandatangani Traktat Sumatera pada 1871.
Isi Traktat Sumatera adalah Belanda diperbolehkan untuk melakukan perluasan wilayah di Sumatera, termasuk Aceh.
Alhasil, Aceh berusaha memperkuat diri dengan menjalin hubungan kerja sama dengan Turki, Italia, dan Amerika Serikat
Pemerintah Hindia Belanda yang tidak menghendaki adanya campur tangan dari negara asing pun menjadikan hubungan diplomatik ini sebagai alasan untuk menyerang Aceh.
Baca juga: Mengapa Perang Aceh Berlangsung Begitu Lama?
Sebab khusus terjadinya Perang Aceh adalah tuntutan Belanda untuk mengakui kedaulatannya pada 22 Maret 1873.
Akan tetapi, Aceh menolak tuntutan tersebut. Empat hari kemudian, Belanda menyatakan perang terhadap Aceh.
Pada 26 Maret 1873, pihak Belanda menyerang Aceh dengan menembakkan meriam dari kapal yang bernama Citadel van Antwerpen.
Belanda diketahui melancarkan serangan terhadap Aceh sebanyak dua kali, yaitu pada tanggal 5 April 1873 dan 9 Desember 1873.
Serangan pertama, yakni tanggal 5 April 1873, Belanda dipimpin oleh Jenderal JHR Kohler. Sementara itu, serangan kedua pada 9 Desember 1873 dipimpin oleh Jan van Swieten.
Baca juga: Sebab Khusus Terjadinya Perang Aceh
Pihak Aceh sendiri yang terdiri atas para ulebalang, ulama, dan rakyat, terus diserang oleh Belanda.
Adapun tujuan serangan yang dilakukan oleh Kohler adalah untuk merebut Masjid Raya Baiturahman.
Namun, di tengah upaya memperebutkan Masjid Raya Baiturrahman, Jendereal JHR Kohler wafat, sehingga pasukan Belanda ditarik mundur ke pantai.
Setelah gagal dalam serangan pertama, Belanda melipatgandakan kekuatannya dalam serangan kedua.
Dari serangan kedua ini Belanda berhasil membakar Masjid Raya Baiturrahman dan menduduki Keraton Sultan.
Baca juga: Masjid Raya Baiturrahman Aceh: Sejarah, Fungsi, dan Arsitekturnya
Pada 1884, terjadi Perang Sabil, yaitu perang suci untuk membela agama dan tanah air melawan kezaliman di bumi.
Dengan dilakukannya Perang Sabil, perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda semakin meluas.
Misalnya di bagian barat, ada Teuku Umar dan istrinya, Cut Nyak Dien, yang dengan gagah berani melawan Belanda.
Belanda yang mulai kewalahan pun menerapkan strategi konsentrasi stelsel. Strategi ini dilakukan dengan memusatkan pasukan supaya dapat lebih terkumpul.
Namun ternyata cara ini masih belum efektif, sehingga Belanda melakukan strategi baru dengan mendatangkan Snouck Hurgronje untuk mencari kelemahan rakyat Aceh.
Setelah mengetahui kelemahan penduduk Aceh ada pada para ulamanya, Belanda langsung membentuk Korps Marchausse, yaitu pasukan yang terdiri dari orang-orang Indonesia yang dikendalikan oleh para opsir Belanda.
Dengan pasukan ini, Belanda berhasil mematahkan serangan geriylya rakyat Aceh dan Teuku Umar tewas dalam pertempuran di Meulaboh pada 1899.
Baca juga: Pasukan Marsose, Taktik Belanda Kalahkan Teuku Umar
Pasca-kematian Teuku Umar, Sultan dan Panglima Polem dari Aceh memutuskan untuk berpindah-pindah tempat demi menghindari serangan dari Belanda.
Akan tetapi, mereka terpaksa harus menyingkir setelah terdesak oleh besarnya pasukan Belanda.
Pada 1903, Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem juga menyerah setelah mendapat serangan terus-menerus.
Pasukan Aceh yang terus mengalami kemunduran membuat pemerintah Belanda berhasil menanamkan kekuasaannya di seluruh wilayah Kesultanan Aceh.
Akibatnya, Kesultanan Aceh pun runtuh.
Kendati demikian, semangat juang rakyat Aceh masih sulit untuk dipadamkan hingga Jepang menduduki Indonesia pada 1942.
Referensi: