KOMPAS.com - Sistem kepercayaan atau agama ternyata sudah banyak dianut oleh manusia sejak zaman prasejarah.
Sebelum agama Hindu-Buddha masuk di Indonesia, sistem kepercayaan yang lebih dulu berkembang pada masa itu adalah animisme, dinamisme, dan totenisme.
Keberadaan sistem kepercayaan ini pun dapat dibuktikan dari adanya benda-benda peninggalannya.
Lantas, ada apa saja benda-benda peninggalan sistem kepercayaan?
Baca juga: Pembagian Zaman Prasejarah di Indonesia
Dolmen adalah meja batu yang digunakan oleh manusia pada masa lampau untuk menaruh sesaji yang dipersembahkan kepada roh nenek moyang.
Biasanya, dolmen memiliki ukuran yang besar dengan permukaan datar, panjangnya mencapai 300 cm dengan lebar sekitar 100 cm.
Di Indonesia sendiri, dolmen ditemukan di Pasemah, Sumatera Selatan, yaitu dolmen yang berkaki menhir.
Selain itu, dolmen juga ditemukan di Bondowoso dan Merawan, Jawa Timur.
Baca juga: Dolmen: Pengertian, Fungsi, dan Lokasi Penemuan
Salah satu peninggalan lain yang berhubungan dengan sistem kepercayaan masyarakat masa prasejarah adalah menhir, yaitu tiang atau tugu yang terbuat dari batu melambangkan arwah leluhur.
Menhir berasal dari bahasa Keltik, men, yang berarti batu, dan hir yang berarti panjang sehingga arti menhir adalah batu panjang.
Bagi penganut kepercayaan animisme, menhir merupakan pengikat antara arwah leluhur dengan keturunan mereka.
Di Indonesia, menhir banyak ditemukan di daerah Sumatera Barat, Pasemah (Sumatera Selatan), Pugungharjo (Lampung), Kosala dan Lebak Sibedug (Jawa Barat), dan berbagai daerah lainnya.
Baca juga: Menhir: Pengertian, Fungsi, dan Lokasi Penemuan
Waruga merupakan bentuk kuburan kuno yang berasal dari dua batu yang berbentuk segitiga dan kotak.
Waruga terdiri atas dua bagian, yaitu bagian atas dan bagian bawah.
Bagian atas waruga berfungsi sebagai penuutp kubut, sedangkan bagian bawah sebagai tempat jenazah.
Penggunaan makam dengan sistem waruga ini dipakai oleh masyarakat Minahasa hingga era kolonial Belanda.
Sayangnya, ketika wabah pes, tifus, dan kolera meluas, pemakaman dengan metode waruga ini mulai dilarang oleh pemerintah Belanda.
Akhirnya, pada 1995, kompleks pemakaman waruga ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia (UNESCO), namun kembali ditarik pada 2015.
Baca juga: Waruga: Asal, Fungsi, dan Ciri-cirinya
Peninggalan sistem kepercayaan selanjutnya adalah sarkofagus, yaitu kubur batu yang terdiri dari wadah dan tutup yang memiliki tonjolan pada ujungnya.
Oleh masyarakat prasejarah, sarkofagus kerap dianggap sebagai “perahu roh”, yang konon akan membawa roh leluhur berlayar ke dunia roh selanjutnya.
Di Indonesia, sarkofagus ditemukan di Bali, Tapanuli, Sumba, Minahasa, dan Bondowoso.
Selanjutnya, ada punden berundak, yaitu batu-batu yang berbentuk seperti anak tangga.
Fungsi punden berundak adalah sebagai tempat pemujaan arwah nenek moyang dan dianggap suci.
Bagi masyarakat prasejarah, punden berundak dianggap sebagai gunung suci yang diyakini akan memberi berkah seperti kesuburan, ketentraman, dan kesejahteraan.
Punden Berundak dapat ditemukan di berbagai wilayah, salah satunya Jawa Barat.
Baca juga: Punden Berundak: Asal-usul, Fungsi, dan Persebaran
Terakhir ada Arca, yaitu media pemujaan yang difungsikan oleh masyarakat prasejarah sebagai penghubung antara kerabat yang masih hidup dengan yang telah meninggal dunia.
Masyarakat prasejarah masih mempercayai bahwa roh orang yang sudah meninggal masih berada di dunia lain sehingga dibentuklah sebuah media pemujaan.
Dengan membentuk sebuah arca sebagai bentuk penghormatan kepada roh leluhur, masyarakat percaya hidup mereka akan penuh dengan keselamatan dan kesejahteraan.
Arca banyak ditemukan di daerah Sumatera Selatan.
Menurut penelitian, arca-arca yang ditemukan menggambarkan manusia dan binatang, sepeti gajah, harimau, babi, rusa, dan kera.
Referensi: